Bermodalkan jumlah penduduk yang besar dan pertumbuhan ekonomi tinggi, dua negara ini masih menjadi penyetir utama harga minyak makan dunia sampai 2015.
PV Murali Krishna dari Transgraph, perusahaan konsultan bisnis dari Hyderabad, India, mengemukakan kesimpulan tersebut di hadapan para peserta konferensi Sustainable Oil Palm Plantation di Jakarta, Januari lalu. Tim Transgraph melakukan analisis berdasarkan permintaan minyak makan dalam rumah tangga dan jumlah populasi.
Analisis itu menunjukkan, sampai 2015 kelak Produk Domestik Bruto (PDB) India akan bertahan pada angka sekitar 8%, sementara ekonomi China tetap tumbuh dua digit. Dengan kenaikan pendapatan per kapita 6%—7% per tahun, konsumsi minyak makan per kapita penduduk India mencapai 21 kg per tahun dari 14 kg pada 2009. Ini akan mengerek total konsumsi nasional Negeri Anak Benua tersebut menjadi 21 juta ton. Begitu juga dengan China, pertumbuhan permintaan akan menaikkan konsumsi minyak makannya dari 25 juta ton (18 kg per kapita per tahun 2009) menjadi 35 juta ton per tahun.
Peluang Besar
Kajian Transgraph lebih mendalam lagi menyimpulkan, sumbangan minyak sawit untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap minyak makan di India akan semakin tinggi. Sekitar 70% pertanian negeri ini termasuk lahan tadah hujan sehingga produksi biji-bijian penghasil minyak relatif stagnan dalam dua dekade terakhir. Untuk meningkatkan produksi di dalam negeri pun menghadapi kendala lahan. Inilah yang membuat India kian tergantung pada minyak makan impor.
Cerita di China sedikit berbeda. Dari sisi produksi, pengembangan biji-bijian sumber minyak makan dilakukan di lahan kurang subur. Apalagi luasannya kian berkurang. Tahun lalu komposisi pasokan minyak makan terdiri dari 43% produksi lokal, dan 57% impor. Pada 2015, sumbangan produksi lokal menurun hanya 40%, sedangkan impor naik menjadi 60%.
Hal tersebut terjadi akibat dua hal, yaitu penambahan konsumsi minyak makan oleh masyarakat dan pertumbuhan permintaan bungkil biji-bijian untuk pakan ternak. Pabrik minyak kedelai pun kedodoran bahan bakunya sehingga impor kedelai dunia akan mengarah ke China dalam beberapa tahun mendatang. Dengan begitu, di sana terjadi persaingan penggunaan minyak makan asal biji-bijian dan minyak sawit. Perbedaan harga antara kedua sumber minyak tersebut akan menentukan siapa yang berjaya.
Temuan Transgraph itu tidak berbeda jauh dengan analisis Thomas Mielke dari Oil World yang dikutip Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dalam rilisnya Maret lalu. Pulihnya perekonomian dunia membuat konsumsi CPO India dan China bertambah. Tahun ini permintaan minyak sawit di India diperkirakan naik dari 6,5 juta ton menjadi 7,3 juta ton.
Kondisi tersebut bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk menggenjot ekspor ke dua konsumen terbesar dunia CPO tersebut. Apalagi produksi CPO Malaysia, saingan terdekat Indonesia, diperkirakan berkurang dari 17,5 juta ton menjadi 17,2 juta ton tahun ini. Sementara itu, berdasarkan prediksi GAPKI, Indonesia akan mampu memproduksi 22 juta ton. Dan dari jumlah itu 18 juta ton bisa dilempar ke pasar mancanegara.
Tambahan lagi, minyak kedelai dan minyak rapeseed terutama di Amerika Serikat dan Eropa cenderung dijadikan biodiesel. Pangsa pasar minyak sawit akan semakin besar menggantikan kedua jenis minyak itu sebagai minyak makan. Jadi, gagasan penghentian sementara (moratorium) perluasan kebun sawit di Indonesia, menurut GAPKI, mustahil diterapkan karena akan memberikan dampak negatif bagi pemenuhan kebutuhan minyak makan dan biodiesel dunia. Yang penting, anggota GAPKI berkomitmen mematuhi aturan pemerintah terkait lingkungan dan sosial agar produksinya tidak ditolak pasar dunia.
Peni SP