Tanpa bekal ketahanan yang dibentuk dari vaksinasi, ayam buras rentan terhadap serangan virus flu burung.
Pada awal mewabahnya penyakit flu burung alias avian influenza (AI) dulu, baik ayam ras maupun ayam kampung bisa habis dalam waktu singkat. Pemerintah dan swasta berupaya memproduksi vaksin AI dengan bibit virus lokal. Sekarang vaksin AI sudah diproduksi di dalam negeri oleh PT Medion, Caprifarmindo Labs, dan PT Vaksindo Satwa Nusantara. Selain itu ada pula vaksin AI asal impor. Kini vaksinasi AI diterapkan terutama pada peternakan ayam ras bibit (breeding farm) dan petelur.
Tahan Flu Burung
Pada ayam kampung, Tike Sartika, pemulia unggas di Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi, Bogor, mengupayakan ketahanan terhadap penyakit, termasuk AI, dengan jalan seleksi. Melalui penyeleksian yang disertai sistem pemeliharaan intensif, ia menghasilkan ayam kampung unggul Balitnak (KUB).
Tike memilih unggas lokal sebagai bahan penelitiannya karena melihat produktivitasnya yang rendah dan belum tersedianya bibit berkualitas hasil pemuliaan. Dimulai pada 1998, ia menyeleksi 1.000 ekor ayam betina dan 100 ekor jantan. Dari sejumlah itu yang lulus seleksi 400 ekor betina dan 10 ekor jantan. “Untuk jantan dipilih kualitas spermanya yang bagus, dan betina dipilih yang produksi telurnya minimal 180 butir per tahun,” ujarnya.
Kini ayam KUB sudah mencapai generasi ke-6 (G6). Produktivitas telurnya mencapai 220 butir per tahun. Kelebihan lainnya, ayam KUB ini mengandung gen MX++ 60%, gen penanda ketahanan terhadap flu burung sehingga membuatnya lebih tahan terhadap serangan AI. Sebagai perbandingan, menurut Tike, ayam broiler tidak mengandung gen itu. Sementara pada ayam kampung biasa, kandungan gen tersebut di bawah 60%.
Untuk menguji ketahanan ayam KUB terhadap penyakit, dilakukan ujicoba di laboratorium biosafety level 3 (BSL-3) milik PT Bio Farma, Bandung. Hasilnya, dari 11 ekor ayam kampung biasa, tiga ekor ayam KUB, dan satu ekor broiler, ternyata yang KUB mampu bertahan selama 10 hari penelitian. “Ayam kampung biasa dan broilernya, sehari sudah mati,“ terang ibu dua anak ini.
Lebih Menguntungkan
Setelah terbukti ketahanannya terhadap penyakit, barulah ayam KUB diperkenalkan kepada peternak pada 2009. Ade Zulkarnaen, peternak ayam kampung di Sukabumi, Jabar, mencoba memelihara ayam ini sebanyak 800 ekor. Terbukti memang ayam ini memang resisten terhadap segala penyakit. Paling tidak, serangan gumboro dan tetelo amat minim.
Menurut Ketua Kelompok Peternak Rakyat Ayam Kampung Sukabumi (Kepraks) ini, selain resisten terhadap penyakit, ayam KUB juga memberi keuntungan lebih. Di antaranya, produksi telurnya 60%—70% lebih tinggi. Masa bertelurnya lebih panjang, 5,5—17 bulan. Sementara ayam kampung biasa umumnya hanya 6 bulan.
Ade menjual telur konsumsi dan telur tetas dengan harga masing-masing Rp1.000 dan Rp2.000 per butir. Ia juga menyediakan bibit ayam KUB (DOC) seharga Rp5.000 per ekor. Kecuali menjual telur dan DOC, ia pun memasok ayam konsumsi yang dipelihara selama 90 hari dan berbobot 1,6 kg ke rumah-rumah makan. Ketika bertemu AGRINA Maret lalu, harga pasaran ayam itu Rp25.000 per ekor. Selama ini ia tidak kesulitan menjual ayam produksinya, “Pelanggan saya dari Padang, Bandung, Jakarta, Sukabumi, Mojokerto, dan Kalimantan,” jelas bapak peraih omzet Rp40 juta per bulan hanya dari beternak ayam lokal ini.
Agung Christiawan