Konsumen udang di pasar internasional makin peduli dengan lingkungan sehingga petambak dituntut menerapkan cara budidaya ramah lingkungan.
Teknologi budidaya ramah lingkungan ini mengacu pada kelangsungan produksi dalam jangka panjang tanpa bahan-bahan berbahaya, membuang limbah sekecil mungkin serta hemat air. Dalam pengelolaan mutu air, yang terpenting menjaga kondisi mutu air stabil dengan kandungan oksigen terlarut yang cukup serta kandungan bahan beracun sekecil mungkin. Udang Vanname pun jadi tidak mudah stres, pertumbuhannya baik, dan kelangsungan hidupnya tinggi
Tanpa Buang Limbah
Sistem budidaya hemat air telah diterapkan para petambak. Teknologi ini menerapkan sistem tertutup/semi tertutup, resirkulasi dengan sistem plankton (sistem ototrof) maupun teknologi bioflok (sistem heterotrof). Akhir-akhir ini para petambak mengadopsi teknologi bioflok meniru sukses Yoram Avnimeleh (Israel) dan Robin P. McIntosh (Belize Aquaculture).
Teknologi bioflok adalah budidaya udang tanpa membuang limbah keluar. Bahan organik (sisa pakan, kotoran udang, dan jasad yang mati) dalam tambak dibuat selalu teraduk dengan kadar oksigen terlarut tinggi sehingga merangsang perkembangan bakteri heterotrof untuk mengurai bahan organik di dalam tambak. Hasil perombakan protein berupa amonia dan amonia hasil metabolisme udang didaur ulang menjadi protein mikroba yang tergabung dalam gumpalan disebut floc (biofloc) atau detritus. Bioflok ini kaya akan gizi dan bisa menjadi pakan tambahan bagi udang.
Saat pengisian air tambak, dilakukan sterilisasi dan pembasmian hama. Selanjutnya tambak dipupuk untuk menumbuhkan plankton. Pakan yang digunakan berprotein lebih rendah (kurang dari 38%) serta dikombinasi dengan sumber karbon organik, seperti dedak, tepung tapioka, atau pellet dari biji-bijian sehingga nilai C/N rasio minimal 12. Pada awal budidaya, jumlah pakan sengaja dilebihkan agar mempercepat perkembangan bakteri heterotrof.
Digunakan aerator yang cukup dan tersebar merata sehingga membentuk arus dan mengaduk bahan organik agar tidak mengendap. Bila air terpantau mengandung amonia, diberikan karbon organik (molase) untuk mengontrolnya.
Pada awalnya air didominasi plankton dengan warna kehijauan dan saat terjadi transisi terbentuk busa sangat banyak yang menandakan plankton mati dan selanjutnya air berwarna kecokelatan yang didominasi flok bakteri. Mula-mula ukuran flok sangat halus dan makin lama makin besar. Untuk mempercepat terbentuknya flok, dimasukkan bakteri pembentuk flok (biopolimer), antara lain Bacillus subtilis, B.licheniformis, dan B.cereus. Sedangkan bakteri yang mampu mengambil amonia dan mengubahnya menjadi protein, salah satunya adalah B. megaterium (biobakteri).
Akibat proses perombakan bahan organik yang cukup tinggi, pH air dan alkalinitas cenderung turun sehingga diperlukan kapur/dolomit untuk mempertahankannya. Pada sistem ini cenderung terjadi peningkatan kandungan fosfat dalam air. Amonia sebagian dioksidasi menjadi nitrit dan nitrat oleh bakteri nitrifikasi, sebagian lagi oleh bakteri heterotrof diubah menjadi protein sel. Nitrat diserap bakteri denitrifikasi menghasilkan gas nitrogen yang dilepas ke udara. Sehingga nilai N/P ratio menjadi sangat rendah. Akibatnya blue-green algae berkembang dengan cepat sehingga air berwarna hijau tua atau kehitaman.
Meskipun aerator cukup, tapi untuk mencegah pengendapan bahan organik perlu pembuangan air dari sentral atau sifon guna mengeluarkan lumpur. Kalau tidak begitu, endapan bahan organik akan diurai secara anaerob menghasilkan gas asam sulfida (H2S) yang sangat beracun dan dapat mematikan udang. Untuk mengantisipasi munculnya gas H2S bisa juga digunakan bakteri fotosintetik (BioPS) dicampur zeolit granular dan ditebar di bagian sekitar sentral.
Suprapto, Tim Teknis SCI