Kehadiran gulma dan hama penyakit sering merepotkan petani jagung. Dengan aplikasi benih transgenik, petani jagung di Filipina dapat mengatasi permasalahan tersebut sehingga produktivitas dan pendapatan mereka pun meningkat. Di Filipina, pada kondisi tertentu, hama penyakit bisa menyerang tanaman jagung hingga luasan 60—80% dari total areal tanam. Kehadiran gulma pun sangat merepotkan. Jumlah buruh tani yang minim, karena banyak warga Filipina yang memilih pergi ke kota, membuat ongkos tenaga kerja cukup besar. Belum lagi luasnya kepemilikan lahan menyebabkan petani kesulitan melakukan penyiangan secara manual. Dua masalah itulah yang mendorong petani jagung Filipina berpaling ke jagung transgenik. Meski kontroversi produk transgenik masih terjadi, mereka telah membuktikan bahwa aplikasi produk bioteknologi dapat meningkatkan produksi dan kesejahteraan petani. Bahkan areal tanam jagung transgenik di Filipina saat ini mencapai 500 ribu ha. Julie Nordquist (53 tahun) memilih menanam jagung transgenik (Bt Corn) produksi Syngenta yang tahan hama penyakit dan gulma di kebunnya. Kini penghasilannya mencapai US$275 ribu per musim atau setara Rp2,5 miliar. Produktivitas jagung pun mencapai 8—9 ton per ha dengan kadar air hingga 30%. Wanita asal San Bartolome, Concepcion, Filipina, itu mengelola 400 ha lahan yang digarap sekitar 150 petani. Menurutnya, sebelum menanam Bt Corn, panen paling banyak 7 ton dan jagung pun sering terserang penyakit. “Dengan benih transgenik, sekarang saya bisa menekan biaya tenaga kerja dan pestisida karena jagung saya tidak ada gulma dan penyakitnya,” ujar pemilik dua kewarganegaraan (Amerika Serikat dan Filipina) ini sambil memperlihatkan kebun jagungnya. Adopsi dan manfaat jagung transgenik juga dirasakan Rosalie M. Ellasus. Sejak 2002, ia menanam jagung transgenik di lahan seluas 1,3 ha. Dengan jagung biotek, hasil panennya meningkat dari 3,2 ton, menjadi 7,3—9,2 ton per ha. “Pabrik pakan tidak pernah menolak jagung produksi kebun saya. Hasil panen saya bagus dan tidak mengandung aflatoksin sama sekali,” tandas ibu tiga anak ini saat presentasi di Pan Asia Farmers Exchange yang diadakan Croplife Asia 22—27 Maret 2010 di Manila. Rosalie menambahkan, dengan menerapkan pertanian terpadu (sistem integrated farming) jagung dan ternak, selain jagung ia dapat menambah penghasilan dari ternak. Kini penghasilannya makin tinggi. Lahannya bertambah luas menjadi 10 ha dan ia pun mampu menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi. Karena keberhasilannya mengadopsi jagung biotek, wanita asal San Jacinto-Pangasinan, Filipina ini didaulat oleh Croplife International sebagai duta bioteknologi dan memenangkan pemilihan legislatif di daerahnya. Hal serupa juga diungkapkan Antonio Dizon. Petani jagung yang tinggal di Barangay Café, Concencion, Provinsi Tarlac-Filipina ini menanam jagung transgenik produksi Monsanto. Keputusannya menanam jagung transgenik kali ini tak lain untuk mengejar peningkatan produktivitas dan menekan biaya produksi jagung. Selama ini gulma dan hama penyakit tak terelakkan lagi di kebunnya. Karena itu ia memutuskan beralih dari jagung hibrida ke jagung transgenik karena jagung transgenik memiliki keunggulan tahan herbisida dan lebih tahan serangan hama penyakit. ”Dengan menghemat pestisida dan ongkos tenaga kerja, saya dapat mengurangi biaya produksi jagung saya,” kata Antonio yang ditemui AGRINA di lahan pertaniannya. Aplikasi di Indonesia Upaya Indonesia mengadopsi teknologi pertanian transgenik untuk menopang peningkatan produksi pangan masih rendah. Demikian diungkap Maxdeyul Sola, Sekjen Dewan Jagung Nasional dan Ketua Panitia Teknis 6503 Standar Nasional Indonesia pada Badan Standardisasi Nasional ketika diwawancara AGRINA di Manila. Menurut Sola, budidaya jagung di Indonesia harus seefektif mungkin jika mau bersaing di pasar dalam negeri ataupun dunia. Jika kalah kompetitif, produk jagung negara lain akan menyerbu pasar Indonesia. Karena itu, adopsi teknologi sangat diperlukan. Ia menyayangkan, Indonesia sebagai negara agraris tidak cepat melihat tantangan yang ada di depan mata. Berbeda dengan Korea dan Taiwan sebagai negara industri, mereka sudah sadar akan peran bioteknologi. Harapan serupa diungkapkan pengurus Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) yang turut dalam Program Pan Asia Farmers Exchange yang diadakan Croplife Asia di Manila itu. Mereka menyatakan perlunya peningkatan pendapatan petani Indonesia melalui introduksi benih yang bisa memacu peningkatan produktivitas. “Bagaimana kita bisa bersaing kalau diserbu jagung dari negara lain. Jika teknologi transgenik bisa diadopsi, segera kami yakin bisa memacu peningkatan produksi,” harap A. Rahman Daeng Tayang, Ketua KTNA Sulawesi Selatan. Namun, Suyamto, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian, menegaskan, tanaman transgenik akan menguntungkan bila ditanam sesuai spesifik lokasi dan sesuai kebutuhan petani. Bibit transgenik hanya menjaga tanaman dari serangan gulma dan hama penyakit. ”Di Indonesia, gulma masih bisa diatasi petani sendiri dan hama penyakit jagung masih bisa dikendalikan. Adanya bibit trasgenik jangan diartikan unggul 100%, tapi ini sebuah solusi alternatif untuk meningkatkan produksi petani. Keputusan ada di petani sendiri,” katanya. Brenda Andriana