Saat peternak lain kelimpungan karena harga susu, sapi bunting, dan pedet tak kunjung membaik, Sarijani justri menambah populasi ternaknya. Kok bisa?
Harga susu segar tingkat peternak di Yogyakarta sampai minggu kedua Maret lalu tidak jua membaik, hanya berkisar Rp2.600 per liter. Bahkan, harga sapi bunting, dara bunting, dan pedet pun tanpa diketahui sebabnya turun hingga Rp2 juta per ekor sejak enam bulan lalu. Di tengah ramainya keluhan peternak dan lesunya kondisi usaha sapi perah, Sarijani malah meningkatkan populasi sapinya.
Peternak di Ngipiksari, Hargobinangun, Pakem, Sleman itu kini memiliki 60 ekor sapi perah. Rinciannya, 20 ekor sedang laktasi, 15 ekor pedet, dan sisanya sapi dara atau betina muda. Jumlah itu merupakan perkembangan dari 40 ekor sapinya setahun lalu. “Pedet-pedet itu dari induk sendiri,” terang anggota Kelompok Peternak Sapi Perah “Mekar” tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan pakan hijauan, peternak yang memulai usaha dari lima ekor pada 1987 ini harus menyediakan satu ton rumput per hari. Sementara perawatan sapi-sapi itu dipercayakannya kepada empat orang karyawan kandang.
Murungnya usaha peternakan sapi perah rakyat ini bukannya tidak merisaukan Sarijani. Dengan biaya produksi Rp25.000, produktivitas 12 liter susu per ekor per hari, dan harga jual susu Rp2.600 per liter, keuntungan usaha nyaris setipis kulit ari. Hanya Rp6.000 per ekor per hari. “Itu belum dihitung penyusutan. Tetapi tekad harus kuat,” tegasnya. Untuk itu, ia menghitung benar skala ekonomis usaha, pemenuhan kebutuhan hijauan, dan komposisi pakan konsentrat.
Tiga Ekor per Orang
Skala usaha yang ideal agar dapat bertahan adalah tiga ekor sapi laktasi per orang. Jadi, kalau ada enam orang dalam keluarga, semestinya mereka memelihara 18 ekor. Dengan tiga ekor per orang dan pendapatan Rp6.000 per ekor, maka setiap orang akan mendapatkan Rp18.000 per hari. “Keuntungan sebenarnya adalah pada pedet. Mereka akan mendapatkan tiga ekor pedet. Sekarang pedet umur satu tahun harganya Rp6 juta—Rp7 juta. Kalau enam bulan yang lalu sih sampai Rp8 juta. Harga pedet jantan dan betina hampir sama,” urai Sarijani. Karena itulah dirinya terus menambah jumlah populasi agar pendapatannya makin layak sebagai seorang peternak pengusaha.
Saat peternak lain menjual pedet untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Sarjani melego 2—3 ekor pedet guna membeli seekor induk. Demikian seterusnya sampai sapinya berkembang 60 ekor. Ia mengaku memang ingin menjadi peternak pengusaha sehingga peningkatan populasi merupakan kebahagiaan dan tuntutan baginya. Tak heran karena semangatnya itu, enam bulan lalu dirinya diserahi tugas mengelola sebuah village breeding centre (VBC) sapi perah dengan 100 ekor sapi yang diperbantukan pemerintah kepada kelompok peternak di Sleman. “Sekarang sudah beranak 20 ekor,” ungkapnya bangga.
Selain jumlah sapinya layak, kiat kedua adalah memiliki lahan rumput. Pasalnya, saat ini hijauan menjadi barang mahal bagi petani. Seekor sapi berbobot 400—500 kg butuh rumput setidaknya 40 kg per hari yang pasarannya mencapai Rp12.500. “Jadi, biaya produksi Rp25.000 per ekor per hari itu Rp12.500 untuk rumput, Rp12.000 untuk 6 kg konsentrat dan Rp2.500 untuk tenaga kerja,” hitungnya. Beban biaya rumput ini dapat ditekan seminimal mungkin karena Sarijani mampu menyewa 2 ha lahan dan menguasai 1,5 ha lahan kas desa karena kedudukannya sebagai kepala dusun. Sewa diperpanjang setiap lima tahun dengan nilai Rp500 per m2 per tahun. Ketiadaan lahan rumput ini yang menjadi penghalang bagi peternak skala dua-tiga ekor untuk berkembang.
Kiat berikutnya adalah membuat pakan konsentrat sendiri dengan meramu pakan konsentrat dari pabrik dengan bekatul padi dan bekatul gandum. Bendahara Koperasi Usaha Peternakan dan Pemerahan (UPP) Sapi Perah Kaliurang ini menyangsikan kadar protein pakan konsentrat pabrik sesuai klaimnya, yaitu sekitar 14%. Berdasarkan pengalamannya dan peternak lain, sapi yang hanya diberi pakan konsentrat pabrik cuma berproduksi efektif selama empat bulan dengan rata-rata tak lebih dari 10 liter per hari. Sedangkan dengan konsentrat campurannya, Sarjani mampu membuat sapinya berproduksi optimal selama minimal 6 bulan dan menghasilkan 12—13 liter susu segar per hari. “Memang masih rendah. Kita sebenarnya bisa meningkatkan produktivitas dan kualitas susu, tapi kalau harganya serendah sekarang, kita akan rugi kalau melakukan itu,” tuturnya.
Harga pakan konsentrat pabrik sebesar Rp1.700, bekatul padi Rp2.400, dan bekatul gandum Rp2.360 per kg. Bila konsentrat pabrik ini dicampur bekatul padi dan bekatul gandum dengan perbandingan 5:1:1, harga pakan campuran menjadi Rp2.000 per kg.
Meskipun ada selisih produksi sekitar 180 liter susu per ekor selama dua bulan karena perbedaan lama masa produksi, tapi peternak kecil tidak mampu menjangkau, “Karena belinya harus cash,” jelas Sarijani.
Koperasi Tingkatkan Harga
Rendahnya harga susu dan turunnya sapi bunting, dara bunting, dan pedet membuat Sarjani dan pengurus Koperasi UPP Kaliurang tergerak. UPP Kaliurang merupakan koperasi pemasok susu dari 18 kelompok peternak sapi perah ke salah satu industri pengolahan susu (IPS) di DIY. Beranggotakan 606 peternak dan menyetor 4.000—5.000 liter susu per hari.
Kendati harga pembelian susu dari IPS maksimal tetap Rp3.500 per liter dan belum ada kebijakan menaikkan harga, koperasi mengambil keputusan meningkatkan harga pembelian Rp200 per liter guna menyelamatkan usaha peternak per Maret 2010. “Semua biaya kita susutkan demi pelayanan kepada peternak. Koperasi tidak harus untung, tetapi pelayanan yang utama,” tegas Sarjani.
Tahun ini bingkisan lebaran yang biasanya senilai Rp60.000 per anggota dipotong separuhnya. Demikian juga biaya-biaya lain ditekan agar usaha peternak dapat bertahan. Sekadar diketahui, harga sapi dan dara bunting yang satu semester silam seharga Rp16 juta—Rp17 juta kini hanya Rp13 juta—Rp14,5 juta per ekor, pedet umur setahun yang Rp8 juta tinggal sekitar Rp6 juta per ekor. Padahal selama ini dara bunting atau pedet itulah yang menjadi tabungan bagi para peternak.
Faiz Faza (Yogyakarta)