Setelah CBIB dan CPIB, muncul lagi standardisasi budidaya udang versi WWF yang lebih fokus ke masalah lingkungan.
Udang masih terbilang primadona ekspor perikanan Indonesia. Tak heran Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan peningkatan produksi udang sebesar 74,75% sampai 2014 menembus angka 699 ribu ton. Di sisi lain, negara-negara konsumen seperti Amerika dan Eropa, mengharapkan jaminan mutu dan keamanan produk udang. Pemerintah menindaklanjutinya dengan memberlakukan sertifikasi Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) dan Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB).
Namun seolah tak puas, negara importir menginginkan standardisasi lebih ketat menyangkut lingkungan. Langkah yang diambil Global Steering Committee mewakili suara konsumen adalah menggandeng World Wildlife Fund (WWF), LSM lingkungan hidup kenamaan dunia, untuk membuat standar budidaya udang. Diyakini aturan baru ini akan makin memperluas pasar udang Indonesia. Namun seberapa mudahkah aturan ini bisa diterapkan petambak, lebih-lebih petambak tradisional?
Lebih Laku
Cut Desyana, Koodinator Program Akuakultur WWF-Indonesia, menyatakan, aturan tersebut akan lebih mengukur dampak penting dari budidaya udang. Alhasil, udang Indonesia tak hanya berkualitas prima, tapi juga berdampak minimal terhadap lingkungan, keanekaragaman hayati, dan masyarakat sekitar.
Menurut Ketut Sugama, Direktur Perbenihan, Ditjen Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan, standardisasi ala WWF tersebut jangan dianggap sebagai hal menakutkan. Sebaliknya, aturan tersebut justru akan membuat kualitas produk udang Indonesia semakin diakui dunia. “Konsumen memang menginginkan produk yang concern terhadap lingkungan. Mau tak mau kita harus mengikutinya. Proses standardisasi ini tetap akan memberi ruang bagi petambak,” ungkapnya.
Terjadinya perluasan pasar dan peningkatan kualitas udang Indonesia dengan penerapan standar WWF juga diyakini Iwan Sutanto. Dari pengalaman Ketua Umum Shimp Club Indonesia (SCI) ini, nama besar WWF bisa jadi jaminan. Buktinya, beberapa perusahaan semacam Wal-Mart, Amerika Serikat dan Carrefour, Perancis telah mengakui sertifikat WWF. Namun ia memprediksi, pemberlakuan aturan tersebut tak serta merta akan mengatrol harga udang dunia.
Pilih Mana
Di dunia terdapat beberapa sertifikasi budidaya udang yang diakui secara internasional. Antara lain EUROP-GAP dan American Aquaculture Council (AAC). Akan tetapi sepengetahuan Iwan, semua sertifikasi budidaya udang bersandar pada aturan FAO. Intinya adalah cara budidaya udang tanpa mengesampingkan prinsip keamanan pangan, asal usul induk, dan lingkungan hidup
Menelaah aturan WWF, Iwan melihat beberapa pasal terbilang berat, terutama bagi petambak tradisional. Padahal kontribusi pasokan udang dari tambak rakyat ini cukup besar. Poin paling kritis adalah hal yang menyangkut nilai residu dan pelarangan membangun tambak di lahan pasang surut. Karena itu ia berpendapat, petambak tradisonal sebaiknya lebih dulu menerapkan CBIB dan CPIB. Setelah menerapkan standar tersebut, pengusaha udang tak akan kesulitan jika ingin tambaknya punya lisensi WWF “Saya rasa kalau kita sudah punya CPIB dan diaudit lagi oleh lembaga independen seperti WWF, saya yakin pasti lulus karena dasarnya sudah sama,” paparnya.
Bagaimana pun ke depan, Iwan yakin, aturan menyangkut lingkungan seperti sertifikasi WWF, tak bisa ditawar lagi. Sebab, dasar pemikirannya bersumber dari keinginan konsumen.
Selamet Riyanto