Senin, 29 Maret 2010

Kena PPN Pengusaha Kecolongan

Sama-sama pangan sumber protein hewani yang dibutuhkan masyarakat, daging segar dan susu bebas PPN, tapi produk perikanan dikenai PPN.

Berlakunya Undang-Undang No.42 Tahun 2009 tentang “Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah” membuat pengusaha perikanan kalang kabut. Pasalnya, ternyata produk perikanan tidak termasuk bahan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat. Padahal produk perikanan terbilang produk pangan sumber protein hewani yang sangat baik untuk membangun kualitas sumber daya manusia.

Dalam UU yang disahkan pada 15 Oktober 2009 ini disebutkan, yang tergolong barang pokok bebas PPN adalah beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging segar, telur, susu, buah-buahan, dan sayuran. “Dugaan saya, mungkin karena produk perikanan memiliki nilai ekspor yang tinggi, jadi orang pajak berharap mendapatkan banyak pemasukan negara dari produk perikanan. Mereka kurang memperhatikan hal-hal lain, orientasinya hanya pemasukan besar,” ujar Herwindo, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) di kantornya awal Maret lalu. Ia menambahkan, produk yang dibebaskan dari PPN, seperti susu dan daging segar masih banyak produk impor, jadi keduanya dibebaskan dari PPN.

Senada dengan pelaku bisnis, Kementerian Kelautan dan Perikanan pun menyayangkan pengenaan PPN terhadap produk perikanan. Karena itu, Menteri Fadel Muhammad dalam chief editor meeting 1 Maret lalu di Jakarta, mengatakan, pihaknya sedang bernegosiasi dengan Menteri Keuangan. Gappindo bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan itu memperjuangkan satu peraturan pemerintah yang membebaskan produk perikanan dari PPN. “Seharusnya PP No.7/2007 lalu bisa menjadi bahan pertimbangan, namun sampai di mana kemajuan perjuangan ini saya belum tahu, karena kami dari pihak pengusaha tidak terlibat dalam tim ini,” imbuh Herwindo. Sampai saat berita ini diturunkan hal tersebut masih berproses di Kementerian Keuangan.

Undang-Undang ini sendiri diberlakukan mulai 1 April 2010. “Kalau ini benar-benar muncul, kami sangat kecolongan. Mungkin kami salah karena kurang aktif, tapi dalam hal ini pemerintah juga kurang sosialisasi sejak awal. Kami baru tahu saat Undang-Undang ini sudah disahkan,” sesal Herwindo. Pihak pengusaha perikanan masih berharap adanya perubahan, walaupun itu sangat sulit terjadi.

Nelayan Terjepit

Menurut Bambang Suboko, pihak yang paling merasakan pengaruh dari penetapan PPN 10% adalah penangkap ikan atau nelayan. Mereka akan bingung dalam menentukan harga. Menurut Direktur Eksekutif Gappindo itu, anggapan bahwa yang membayar pajak biasanya adalah pedagang ternyata tidak sepenuhnya benar. “Kenyataan yang terjadi di lapangan justru pembeli dan penyalur itu tidak mau menanggung pembayaran pajak. Mereka merasa ini bukan tanggung jawab mereka. Terbukti kalau harga naik, mana mau mereka beli? Jadi, ujung-ujungnya adalah para nelayan yang terjepit,” ujarnya.

Bambang menambahkan, masyarakat masih menjadikan produk perikanan sebagai pilihan, bukan yang utama. Mereka memiliki patokan harga tertentu untuk membeli ikan atau udang, disebut dengan batas kemampuan beli. “Misalnya, biasanya ibu-ibu membeli udang Rp40.000 per kg, kalau harganya mencapai Rp50.000 per kg bahkan lebih, mereka akan lebih memilih membeli telur, daging ayam, atau ikan asin. Toh sama-sama sumber protein hewani. Teori ekonomi kalau suplai sedikit, demand banyak, lalu harga akan naik tidak berlaku di sini. Ini yang akan membunuh usaha perikanan terutama nelayan, padahal mereka yang paling butuh kita tolong,” tambah alumnus Fakultas Perikanan IPB 1967 ini.

Renda Diennazola

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain