Per 20 Januari 2010, untuk sementara, izin impor bakalan sapi potong dihentikan. Konon, lantaran pasokan sapi impor berlebih sehingga menumpuk di kandang.
Melalui surat No. 20041/HK/340/F/01/2010, tentang SPP Pemasukan Bakalan Sapi Potong, tertanggal 20 Januari 2010, Dirjen Peternakan Tjeppy D. Sudjana, menghentikan pemberian izin impor untuk sementara waktu. Penerbitan surat tersebut ditujukan kepada 26 perusahaan importir sapi potong.
Menurut Tjeppy, izin impor itu dihentikan lantaran kelebihan pasokan hingga 25,3%. Ditjen Peternakan, Kementerian Pertanian, menghitung, jumlah SPP yang diterbitkan hingga Desember 2009 telah tercapai 100% (1.118.672 ekor). Sementara realisasi impor sapi bakalan sampai Desember 2009 adalah 765.485 ekor.
Masih menurut Ditjen Peternakan, stok akhir tahun sapi bakalan pada perusahaan pengimpor per 31 Desember 2009 adalah 194.012 ekor atau 25,3% dari total pemasukan. Jumlah ini belum termasuk realisasi SPP terbitan November—Desember 2009, yang masa berlakunya sampai Maret 2010, dengan jumlah 63.900 ekor. Pun realisasi SPP 2010, hingga 18 Januari 2010, sebanyak 116.800 ekor, yang merupakan proses pengajuan impor Desember 2009.
“Didasarkan kepada SPP yang diajukan sebanyak 1,1 juta ekor, realisasi hanya 766 ribu ekor, dan yang dipotong hanya 531 ribu ekor, berarti ada stok kelebihan 195 ribu ekor. Stok ini mengganggu pasar sapi potong dalam negeri, yang dibuktikan oleh keluhan para peternak lokal di Jatim, Jateng, DIY, dan Jabar,” papar Dirjen Peternakan, ketika dihubungi via pesan singkat (SMS) sewaktu di Australia. Penghentian itu untuk menghabiskan stok tersebut sesuai kebutuhan 2010.
Ulah Importir?
Tjeppy melihat, jumlah impor sapi memang sudah di atas kebutuhan. Dia pun menduga ada kepentingan para importir. Buktinya, dari total sapi impor yang masuk ke Indonesia, yang dipotong hanya 75% (531 ribu ekor).
Dayan P. Antoni, dari PT Santosa Agrindo (Santori), perusahaan penggemukan sapi di Lampung, berbeda pandangan dengan Tjeppy. “Mengenai kelebihan stok, seharusnya kalau ngomong stok akhir harus dihitung juga stok awal,” tandasnya.
Dayan tidak memungkiri bila ada importir nakal. Buktinya, pada Januari 2010 di Yogya ada yang menjual sapi impor dengan harga Rp19.000 per kg hidup. Padahal harga sapi impor yang benar-benar telah digemukkan di Jakarta mencapai Rp22.700 per kg. “Jelas harga Rp19.000 itulah yang merusak harga sapi lokal,” ucap Dayan.
Penjualan sapi impor murah itu, menurut Dayan, disinyalir dilakukan importir di luar Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo). Mereka mengimpor sapi afkir dari Australia bagian selatan (sapi subtropis). Masuk ke Indonesia tanpa mengikuti aturan karantina dulu selama 14 hari. Kalau dikarantina, sapi itu keburu mati, apalagi digemukkan, juga tidak bisa sehingga begitu datang langsung dipotong. Sementara sapi bakalan yang diimpor anggota Apfindo, semuanya dari Australia bagian utara yang memang agroklimatnya sama dengan Indonesia. “Importir itulah yang harus ditindak oleh pemerintah, bukan menyamaratakan semua importir jelek,” tukasnya.
“Pemerintah memiliki kewenangan untuk menindak importir yang tidak mengindahkan peraturan,” imbuh Yudi Guntara Noor, pemilik PT Cipta Agro Buana Semesta, perusahaan penggemukan sapi di Garut, Jabar. “Bila kami yang sudah investasi di penggemukan dan sudah memiliki kontrak jangka panjang dengan pihak supplier, namun tidak diberi izin impor, ini menimbulkan kerugian. Untuk industri, hal itu tidak sehat karena menimbulkan ketidakpastian usaha,” jelasnya.
Yudi menuturkan, semua anggota Apfindo sudah berinvestasi cukup besar. Kalau pun kelihatan sapinya banyak bukan berarti menimbun karena mereka harus menggemukkannya dulu. Jadi, harus punya stok. Penjualan mereka paling sebulan 5.000—6.000 ekor.
Dadang WI