Pada 2010 ini banyak kendala yang dihadapi para peternak unggas. Selain tingginya harga obat dan pakan, khusus bagi peternak yang biasa memasok pasar Ibukota, mereka menghadapi tantangan tersendiri. Pemda DKI berencana memberlakukan Perda No. 4/2007 yang diperkuat dengan SK Gubernur DKI No. 1627/2009 yang melarang peredaran unggas hidup di pasar-pasar tradisional mulai April mendatang.
Namun hal itu tak membuat gentar Sigit Prabowo, salah satu peternak broiler asal Bogor yang selama ini mengirim ayam hidupnya ke Pasar Kebayoran Lama dan Pasarminggu, Jakarta Selatan. Untuk kedua pasar ini, ia memasok 30.000 ekor per minggu dari 200 ribu ekor produksinya. Bila peraturan itu benar-benar diberlakukan, dirinya memilih minta broker langganannya yang mengambil ayam ke kandang. Urusan memotong ayam sampai berupa karkas (daging tanpa bulu dan jeroan) biarlah menjadi urusan sang broker.
Tetap Optimis
Sukses Sigit yang menjadi peternak besar itu tentu saja tidak datang dalam sekejap. Ketua Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara (PPUN) ini memulai langkahnya beternak pada 1999. Waktu itu ia membuka peternakan ayamnya bermodalkan uang tabungan seusai pensiun dari pekerjaannya di daerah Ciawi-Bogor. Tabungan senilai sekitar Rp25 juta itu untuk membeli bibit ayam umur sehari (day old chick-DOC) sebanyak 5.000 ekor. “Saya memilih ternak ayam karena biayanya terjangkau daripada ternak sapi,” ujar Sigit memulai penuturannya kepada AGRINA.
Pengalaman pertama menjadi seorang peternak ayam itu ternyata membuahkan hasil yang menggembirakan. “Saat itu saya bisa meraup untung jutaan rupiah,” katanya sambil tersenyum. Dari keuntungan tersebut ayah dua anak ini membeli lagi DOC sekitar 5.000 per minggu. Selain membelikan DOC, ia juga menyisihkan sebagian laba untuk membangun kandang. ”Dulu kandang saya masih menyewa dengan harga Rp350 per periode,” lanjutnya.
Pada 2002, Sigit sudah cukup berhasil karena populasi ayamnya mencapai 400 ribu ekor. Apalagi pria yang berkantor di Bogor Permai ini memiliki kandang di beberapa tempat, yaitu Babakan, Ciawi, dan Cigombong. Namun kebanggaan dan kebahagiaannya menjadi peternak besar ini tidak berlangsung lama. Pada semester kedua 2003, wabah penyakit avian influenza (AI) alias flu burung mulai merebak di peternakan ayam.
Peternakan Sigit pun tak luput dari serangan virus ganas H5N1, penyebab AI. Sekitar 400 ekor ayamnya mati mendadak. Selain itu ayam yang siap jual pun cuma laku dilego Rp2.400 per ekor. Meski sangat murah, ia terpaksa melepasnya karena konsumen saat itu takut membeli ayam. Tahun itu benar-benar malapetaka baginya. Utangnya pada pabrik pakan dan obat-obatan unggas pun bertumpuk hingga puluhan juta rupiah. ”Tiap minggu banyak TS (technical service) menagih utang ke rumah,” kenangnya pahit.
Untuk membayar utang, pria yang bermukim di daerah Cimanggu, Bogor, ini berniat menjual rumahnya tapi ternyata hasilnya tidak mencukupi. Akhirnya ia menjadwal ulang utang-utangnya. Perlahan tapi pasti, Sigit membenahi peternakannya supaya bisa maju sedia dulu kala. Setiap hari ia memantau kandang dan memberikan pengarahan kepada para pegawainya. ”Saya optimis nantinya peternakan saya bisa maju sedia dulu kala,” ujarnya.
Berkat usahanya itu Sigit mampu mencicil utangnya. Ketika utangnya lunas, ia diberi kepercayaaan oleh beberapa perusahaan yang salah satunya dari Japfa Comfeed untuk mengembangkan usaha. “Saya diberi pinjaman kredit berupa pakan,” ungkapnya. Skala usahanya kembali ke 5.000 ekor per minggu, bahkan bertumbuh hingga sekarang mencapai 200 ribu ekor.
Pakan Unggulan
Sigit yang dulu hanya mampu menyewa kandang untuk ayam-ayamnya, kini memiliki 10 unit kandang sendiri dan lima unit kandang sewaan Kandang-kandang ini diisi 7.000—10.000 ekor. Dalam memelihara ayamnya, ia tidak main-main dalam hal pakan. Sebagai peternak besar, ia selalu didatangi para technical service (TS) dari perusahaan pakan yang menawarkan produk pakannya.
Sejak 2005 sampai sekarang, ia memilih pakan produksi PT Bintang Terang Gemilang. Alasannya, pakan ini memberikan selisih konversi pakan (FCR) sebanyak 0,1—0,2 dibandingkan pakan merek lain. Artinya, untuk mencapai bobot ayam yang sama, membutuhkan pakan yang lebih sedikit. Harga yang lebih mahal Rp100 per kg bukan masalah baginya demi memanfaatkan keunggulan produk tersebut.
Sigit memanen ayamnya dengan bobot 1,4—1,6 kg per ekor. Ayam-ayam ini menjadi incaran para pedagang ayam dan masyarakat Kota Bogor dan Jakarta.
Agung Christiawan