Meski terbilang kurang populer di jajaran komoditas perikanan, nilai jual sidat tinggi dan jadi primadona ekspor
Sidat alias belut bertelinga sudah lama menjadi incaran terutama para konsumen Asia Timur, seperti Jepang, China, Korea, dan Taiwan. Ikan bernama ilmiah Anguilla spp. yang juga disebut moa ini terbilang bahan masakan bergengsi lantaran kandungan gizinya tinggi. Tiap tahun permintaannya terus meningkat dan diperkirakan mencapai 100 ribu ton. Pasar lain yang butuh banyak sidat adalah Amerika, Singapura, Timur Tengah, dan Eropa.
Sayang, sampai sekarang pasokan sidat untuk pasar global seret. Malah sebagian besar pemenuhannya masih mengandalkan penangkapan dari alam. Tak heran bila harganya bertengger cukup tinggi. Pasar Jepang misalnya, berani menyerap harga Rp150 ribu—Rp220 ribu untuk sidat ukuran 80 cm dengan bobot 500 g.
Harga Tinggi
Indonesia potensial sebagai pemasok sidat dunia. Nusantara ini mengoleksi 12 jenis yang tersebar di pantai barat Sumatera, pesisir selatan Jawa, Bali, Nusatenggara Barat, dan Nusatenggara Timur. Dari kesemua jenis tersebut, hanya Anguilla bicolor dan A. marmorata yang banyak diinginkan pasar ekspor.
Sidat marmorata mempunyai ciri motif kembang di tubuhnya sehingga banyak yang menjulukinya sidat kembang. Jenis ini banyak ditemui di daerah Tatelu dan Poso, Sulawesi. Sedangkan bicolor berciri warna punggung hitam polos mudah dijumpai di daerah selatan Pulau Jawa.
Syaiful Hanif, Ketua Kelompok Patragesit Indramayu, Jabar, mengatakan, sidat marmorata sangat digemari konsumen dari China, Korea, dan Taiwan. Sedangkan pasar Jepang lebih menyukai bicolor. “Kebutuhan pasar yang sangat besar dan harga jual begitu tinggi mendorong kami untuk membudidayakan sidat, terutama jenis marmorata,“ ucap Syaiful yang mulai memelihara sidat sejak tahun lalu ini.
Rudy S. Pontoh, penampung sekaligus eksportir sidat di Jakarta, menambahkan, selain pasar lebih luas, harga jual marmorata bisa tiga kali lipat bicolor. Pasarannya saat ini berkisar Rp150 ribu—Rp220 ribu per ekor ukuran 500 g atau Rp500 ribu per kg. Pasar China, Hongkong, Taiwan, menurut Rudi, malah menyukai ukuran satu kilo ke atas. Sebaliknya, Jepang lebih berminat terhadap sidat berukuran di bawah 500 g. “Dua tahun belakangan budidaya sidat memang booming karena melihat permintaan ekspor yang begitu tinggi,” ucap Direktur Bidang Bisnis Agromania ini.
Budidaya Tak Sulit
Untuk memelihara sidat, petani sebaiknya mengenal ikan tak bersisik ini. Ia hidup dalam dua jenis perairan. Masa larva sampai menjelang dewasa, ia habiskan di sungai. Setelah dewasa, ia menuju ke laut dalam untuk berbiak. Selanjutnya, larva hasil perkawinan terbawa arus ke pantai dan menuju perairan tawar melalui muara sungai.
Sidat dapat beradaptasi pada suhu 12o—31oC. Namun nafsu makannya akan hilang kalau suhu turun sampai kurang dari 12ºC. Kadar garam perairan yang bisa ditoleransinya antara 0—35 ppt.
Rudi mengungkap, sidat marmorata sangat cocok dipelihara di daerah dekat pantai. Apalagi bila didukung cuaca yang sedikit panas semacam pantai utara Jawa. “Daerah seperti Karawang, Indramayu sangat cocok untuk budidaya sidat marmorata karena kondisinya seperti ekosistem mereka di alam,” jelasnya.
Menurut Syaiful, budidaya sidat berlangsung sekitar 10 bulan sampai satu tahun, tergantung tujuan pasarnya. Siklus budidaya mencakup pendederan I (dari ukuran larva transparan/glass eel hingga elver 0,2—10 g per ekor), pendederan II (dari ukuran elver hingga ukuran kelingking 10—100 g per ekor), dan pembesaran sampai ukuran konsumsi 500 g ke atas per ekor.
Syaiful berpendapat, hal paling rawan dalam budidaya adalah keteraturan pemberian pakan dan kualitas air karena sangat menentukan keberhasilan panen. “Saat masih larva, sidat masuk kategori pemakan segala atau omnivora. Kalau sudah besar, dia hanya makan daging atau karnivora. Jenis makanan jadi perhatian dan kalau sidat makan teratur, maka pertumbuhan berat badannya akan cepat sekali,” ucap pemilik 10 kolam pembesaran sidat ini.
Untuk pertumbuhannya, larva sidat butuh pakan mengandung protein sekitar 50%, sedangkan yang dewasa lebih rendah, sekitar 45%. Di samping itu, ikan ini perlu dijatah pakan alami, yaitu Tubifex alias cacing sutera yang diberikan pada tahap pendederan I dan II. Setelah melewati tahap itu, sidat boleh makan pakan buatan, seperti pellet dan pasta.
Pada panen perdana Paguyuban Patragesit di Desa Lamarantarung, Kecamatan Cantigi, Indramayu (23/2), berhasil diangkut 800 kg sidat dari dua kolam pembesaran. Ukurannya 700 g sampai 5 kg per ekor. “Hasil panen memang belum maksimal. Kami akan terus memperbaiki cara budidaya. Target kami untuk bulan Juni ini bisa panen 1.000—1.500kg per petak dengan ukuran minimal 1.000 g per ekor,” pungkas Syaiful.
Selamet Riyanto