Dengan sistem industri perikanan yang terintegrasi, dua hal sekaligus dapat dicapai: peningkatan produksi ikan dan konsumsi ikan oleh masyarakat.
Perikanan tangkap memang kian berkurang kontribusinya terhadap produksi perikanan nasional. Karena itu, menurut Kafi Kurnia, “Harus ada industri yang terintegrasi dan pemerintah harus punya strategi terutama dalam penangkaran ikan.” Pakar pemasaran yang ditemui AGRINA, itu menjelaskan, kegiatan menangkap ikan sekarang ini tidak lagi menjadi suatu hal yang ekonomis. Terlalu banyak komponen penunjang dengan biaya yang cukup besar, seperti harus punya kapal, bahan bakar, teknologi, dan SDM.
Belum lagi faktor cuaca juga persaingan dari kapal-kapal asing. “Laut-laut tertentu kita itu sudah overfishing. Nah, kalau memang sudah overfishing, the future adalah bukan nangkepin ikan kan? Ya, menangkar (budidaya) ikan,” jelas pria yang juga Ketua Umum Asosiasi Eksportir-Importir Buah dan Sayuran Segar Indonesia (ASSIBSINDO) ini.
Harga ikan tangkapan juga cenderung berfluktuasi, tergantung pada banyak sedikitnya ikan yang didapat. Sementara kalau ikan-ikan sudah bisa ditangkarkan secara masif, maka akan tercipta keseimbangan harga antara pasokan dan permintaan.
Surimi ala Indonesia
Indonesia, menurut Kafi, sebenarnya bisa mengadopsi sistem di negara yang industri ikannya maju seperti Jepang. Di sana industri ikan sudah terintegrasi. Ada produk surimi yang berupa daging ikan giling dan fillet ikan. Dua bentuk produk olahan ikan tersebut cenderung lebih tahan lama dan mudah diolah menjadi produk apapun. “Kenapa enggak surimi kita adopt dan kemudian kita jadikan yang lokal sifatnya,” tandas pria yang terkenal dengan ide-ide kontroversialnya ini.
Produk ikan surimi sebenarnya sangat cocok dengan usaha-usaha kuliner tradisional Indonesia, seperti empek-empek, otak-otak, siomay sampai bakso. Sekarang ini harga ikan mahal dan pengolahannya yang rumit, sehingga para pedagang jajanan tradisional tadi kebanyakan mencampur olahan makanannya dengan sagu, tak murni lagi olahan ikan. Bila pelaku usaha itu mesti memotong, mengambil sisik, mengolah, mereka merasa tidak nyaman.
Karena itu Kafi menyimpulkan, pemerintah perlu membangun sistem terintegrasi dalam bidang perikanan, dari penangkaran, rumah potong, hingga pengolahannya menjadi produk-produk siap pakai. Sistem ini tak sulit diwujudkan asal ada niat serius dari pihak-pihak terkait. “Setahun juga udah kelar. Hitung aja, berapa banyak tukang siomay, otak-otak dan empek-empek. Kalau mereka itu penggunaan ikannya naik 20%—30% saja, mungkin kita udah kekurangan ikan,” cetusnya.
Lewat sistem terintegrasi tadi, tingkat konsumsi ikan masyarakat akan naik dengan sendirinya. Karena sebenarnya orang Indonesia terutama di luar Jawa, konsumsi ikannya cukup besar. Di Jawa sendiri, wilayah Jabar konsumsinya cukup tinggi. Begitu pula Jatim, walau hanya jenis lele. Belum lagi jajanan dari olahan ikan yang sangat banyak variasinya.
Dari gambaran besar itu, lanjut Kafi, jika Indonesia sudah memiliki industri ikan terintegrasi, kesadaran makan ikan di masyarakat akan muncul dengan sendirinya. Promosi hanya jadi upaya sekunder yang mengikuti sebuah sistem industri. Pemerintah cuma perlu mempromosikan kegiatan gemar makan ikan lewat berbagai media, seperti website, film, food channel, dan media tradisional. “Biayanya tergantung, bisa cuma ratusan juta, bisa puluhan miliar. Tapi filosofinya, mau ikan gede, ya harus berani mancing dengan umpan gede,” ujarnya enteng.
Ridwan Harahap