Pemanfaatan disinfektan dan perangsang kekebalan memberi keuntungan lebih bagi pelaku usaha pembenihan dan pembesaran patin dan gurami. Keuntungan lebih itu paling tidak dialami Mixa Prastia, pengusaha pembibitan patin dan gurami serta Misnanto, petani patin di Kota Metro, Provinsi Lampung. Untung Lebih Besar Mixa Prastia, ahli madya perikanan, yang berlokasi di Jl. Kapten Tandean No. 6, Kelurahan Margorejo, Kec. Metro Selatan, memulai usaha sejak 2004. Setelah malang melintang sebagai tenaga pemasaran pakan, obat-obatan, dan bibit ikan selama tiga tahun, ia merintis bisnis benih gurami dan patin. Memanfaatkan lahan seluas setengah hektar milik keluarganya, mulailah ia belanja telur gurami dari Yogyakarta. Telur ini ditetaskan lalu dibesarkannya selama 60 hari. Sedangkan telur patin, ia dapatkan dari pemijahan induk milik sendiri. Hingga 2008, usaha pembibitan Mixa terus berkembang. Pada tahun itulah ia mulai mengenal sarana produksi keluaran PT Inve Indonesia, seperti Sanocare Pur (disinfektan yang efektif membunuh patogen) serta Sanoguard Top S dan Top SC (peningkat ketahanan dan pertumbuhan ikan). Dengan Sanocare Pur, persiapan pembenihan yang tadinya 10 hari bisa dipercepat menjadi dua hari saja sehingga mempersingkat siklus pembenihan sampai 8 hari. Sedangkan Sanoguard Top S dan Top SC membuat pertumbuhan benih ikan lebih cepat dan lebih tahan terhadap serangan penyakit, terutama pada musim hujan seperti sekarang. Benih patin sudah bisa dipanen dalam waktu 40 hari. “Keuntungan yang diperoleh lebih besar dibandingkan biaya pembelian obat-obatan yang dikeluarkan,” ungkap Mixa ketika ditemui AGRINA di lokasi pembibitannya (14/2). Memang ia enggan membeberkan jumlah keuntungannya dengan dalih usahanya masih skala kecil. Namun sebagai gambaran, dalam sebulan rata-rata ia mampu menjual 100 ribu ekor benih patin ukuran 5 cm dengan harga Rp180 per ekor dan benih gurami ukuran 2,5 cm senilai Rp300 per ekor. Tahun lalu, omzetnya melonjak drastis lantaran berhasil menjual sekitar sejuta ekor benih patin dan gurami. Di samping itu dirinya juga menjadi agen produk-produk PT Inve untuk wilayah Kota Metro. Soal kendala usaha, Mixa mengaku kesulitan mendapatkan pakan alami, yaitu cacing. Selain itu ia juga harus bersaing dengan benih sejenis yang didatangkan dari Jawa. Ke depan, selain terus mengusahakan pembenihan ikan, di bawah bendera CV Mika Distrindo Aquaculture, Mixa berencana memperluas usahanya ke pemasaran hasil panen ikan. Cara Unik Cerita sukses Misnanto yang berada di Kelurahan 16A, Kecamatan Mulyosari, Kota Metro, sedikit berbeda. Petani ikan ini mengusahakan pembesaran patin. Dalam membersihkan kolamnya, dulu ia menggunakan kapur dan dolomit. Sebelum diisi air kembali, tambak dikeringkan selama seminggu guna menguras lumpur. Namun setelah memanfaatkan produk Inve, Nutrilake dan Pro W, tambak cukup dikeringkan tiga hari sudah bisa diisi air kembali. Untuk menguji efektivitas kerja probiotik Pro W tersebut, Misnanto berendam di dalam kolam ikannya. Bila sekeluarnya dari kolam, badan dan kakinya tidak gatal-gatal, menurutnya, berarti bakteri itu sudah bekerja. Probiotik ini pun bisa menghilangkan bau yang tidak sedap di kolam. Pada awalnya Misnanto memanfaatkan probiotik tersebut dalam mengolah limbah. Untuk mengoptimalkan hasilnya, Pro W ia kombinasi dengan Sanocare Pur yang bermanfaat menekan pertumbuhan bakteri. Guna meningkatkan daya tahan ikan terhadap serangan penyakit dan mempercepat pertumbuhannya, pembudidaya ini menambahkan Top S dan Top SC ke dalam pakan buatan sendiri. Takarannya, satu gram Top S dan Top SC untuk 10 kg pakan yang dibuatnya dari campuran bekatul dan ikan asin. Pakan racikan sendiri ini menekan biaya produksi karena bila dihitung harganya hanya Rp3.000 per kg, sementara harga pakan pabrikan Rp6.600 per kg. Berdasarkan pengalamannya, sejak mengaplikasikan produk PT Inve, ikannya terhindar dari penyakit bintik putih yang banyak menyerang ikan saat musim hujan. Sejak dua musim ini, Misnanto menebarkan pakan buatan sendiri hingga 98% dan hanya 2% yang pakan pabrikan saat ikan masih kecil. “Pertumbuhan ikan bahkan lebih cepat. Dalam waktu 52 hari (umumnya 90—120 hari), berat ikan sudah mencapai 0,5 kg dan siap dipanen,” jelasnya. Pada panen terakhir awal Maret ini, ia mampu menjaring 14 ton patin. Produksi ini hasil penebaran 35.000 ekor benih di tiga kolam seluas 0,4 ha. Padahal tiga musim tebar sebelumnya, jumlah panennya paling banter 12,5 ton. Dengan harga Rp9.000 per kg, ia mengantongi omzet Rp126 juta per musim. Sayang, pemasarannya masih terbatas di sekitar Bandarlampung dan Bandarjaya. Syafnijal D. Sinaro (Kontributor Lampung)