Selasa, 2 Maret 2010

Mendulang Duit dari Kotoran Ayam

Tak hanya dagingnya bisa dijual, kotorannya pun dapat dijadikan bisnis bersih. Itulah yang dilakukan PT Sinka Sinye Agrotama (SSA), produsen pupuk berbahan dasar kotoran unggas.  

SSA yang berlokasi di Singkawang, Kalbar, merupakan perusahaan yang bergerak di bidang agribisnis. Perusahaan milik Tetiono ini memelihara 2,3 juta ekor ayam petelur. Dulu tokoh perunggasan Kalbar ini bekerjasama dengan pengumpul jagung dari Sanggau Ledo, juga di Kalbar, dalam membuang limbah kotoran ayamnya. Ia menukar limbah tersebut dengan jagung untuk pakan ayamnya.

Ketika petaka wabah flu burung mulai merambah wilayah Indonesia, termasuk Kalbar, pada 2003, kotoran unggas tak boleh dipindah ke mana-mana. Pasalnya, penyakit yang disebabkan virus H5N1 ini menyebar melalui ingus unggas dan melalui kotoran unggas.

Pada 2004, Tetiono meminta adiknya, Soedjono Anggi, belajar tentang pembuatan pupuk yang ramah lingkungan ke China. Jadi, bersamaan dengan langkah pemerintah memusnahkan unggas yang terkena flu burung, pihak Tetiono pun serius merintis kotoran ayam menjadi komoditas bisnis “bersih” yang menjanjikan.

Dua tahun berselang sekembali adiknya dari China, Tetiono membangun pabrik pupuk organik dengan memanfaatkan kotoran ayam. ”Mulanya kami hanya bisa produksi dalam sehari hanya 3 ton saja lantaran terkendala modal dan sedikitnya jumlah pekerja,” cerita Tetiono.

Untuk mendongkrak produksi, ayah dua anak tersebut juga mengumpulkan bahan baku dari peternak lainnya. Saat ini ia menggandeng 992 orang yang tergabung dalam 28 kelompok ternak. Dari peternak lainnya itu ia memperoleh 5—10 ton kotoran ayam kering, sedangkan dari peternakan sendiri sekitar 30 ton. ”Setiap kilo kotoran ayam itu dihargai Rp1.000—Rp1.500,” ungkap Tetiono.

Ketika AGRINA berkesempatan berkunjung ke SSA, perusahaan ini mampu memproduksi 1.000 ton pupuk organik. Produksinya ini hasil operasi 24 jam yang terbagi dalam tiga giliran kerja (shift).

Ramah Lingkungan

Menurut Tetiono, pupuk organik yang dibuatnya tidak sekadar pupuk kandang. melainkan pupuk organik yang kandungan haranya diperkaya dengan berbagai bahan lainnya. Antara lain, kaptan, dolomit, zeolit, guano (kotoran kelelawar), arang sekam, dan bahan organik lain (gambut dan kompos). Kandungan hara pupuk organik itu bermacam-macam, tergantung pesanan.

Garis besar proses pembuatannya dibagi menjadi delapan tahap, yaitu pencampuran bahan baku, fermentasi, pembuatan granul, pengeringan, pendinginan, penambahan nutrisi dan bioaktivator, lalu pengemasan. Untuk mengendalikan mutu pupuk produksinya, SSA memiliki rumah kaca sebagai tempat ujicoba tanam.

Menurut Soedjono Anggi, pupuknya terutama diminati petani komoditas perkebunan. Kecuali di seputaran Singkawang, pelanggannya juga tersebar dari Sumut, Sumsel, Malaysia, dan Timor Leste. Pupuk ini dipasarkan dengan harga Rp3.000—Rp4.000 per kg.

Kecuali diklaim ramah lingkungan, penggunaan pupuk ini, menurut Aan, sapaan Soedjono Anggi, cukup efisien. Kebutuhan per hektar hanya 400—600 karung (1—1, 5 ton). Pada lahan yang kurang bagus atau tandus,  jumlahnya lebih banyak, 1,5—2 ton per ha. Bila diaplikasikan ke tanaman kelapa sawit, cukup 3—4 kg per tanaman per tahun.

Seiring dengan program “go organic” pemerintah, Tetiono yakin, kebutuhan akan pupuk organik akan semakin besar.

Agung Christiawan

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain