Biasanya lele disantap dalam bentuk olahan goreng dengan berbagai variasinya. Di tangan Hj. Murti Rahayu, ikan berkumis ini dipasarkan dalam bentuk abon.
Bermula dari terpilihnya Hj. Murti Rahayu menjadi Ketua Asosiasi Perajin dan Pengusaha Kecil (APPIK) Distrik Majenang, Cilacap, Jateng, yang meliputi Kecamatan Karang Pucung, Cimanggu, Majenang, Wanareja, dan Dayeuh Luhur. Inspirasi membuat olahan lele terbetik ketika mengikuti pertemuan para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) pada 2007. “Seorang pembicara memotivasi untuk menggali potensi di daerah masing-masing. Mulai dari situlah saya melihat potensi melimpahnya bahan baku berupa lele di Majenang. Harganya cukup terjangkau sehingga saya mencoba mengolah lele menjadi abon,” ungkap Hj. Murti kepada AGRINA.
Tanpa Pengawet
Pada awalnya Hj. Murti mengaku menemui beberapa hambatan dalam proses pembuatan abon. Di antaranya abon hanya bisa bertahan dua bulan dan kadar minyaknya tinggi sehingga minyak mengendap di bagian bawah kemasan. Beruntung itu tidak berlangsung lama, seorang teman menginformasikan adanya alat pengering untuk meniriskan minyak. Ia pun segera membelinya dari Surabaya. Dengan alat itu, abonnya dapat bertahan sampai lima bulan tanpa bahan pengawet.
Sukses dengan hasil olahannya, Hj. Murti lantas memberi nama produknya “Abon Lele Nazelia“. Melalui APPIK, ia mengenalkan hasil karyanya ke berbagai di Cilacap. Produknya makin dikenal masyarakat sehingga Pertamina Cilacap menggaetnya menjadi mitra binaan. Perusahaan pelat merah ini memberinya pinjaman lunak senilai Rp30 juta dengan bunga ringan untuk mengembangkan usaha. Menjadi binaan perusahaan memberinya kesempatan mengikuti pameran di sejumlah kota besar, seperti Yogyakarta, Semarang, Solo, Surabaya, dan Jakarta.
Abon lele Nazelia dibanderol Rp10.000 per ons dan telah mengantongi izin dari Dinas Kesehatan. Tak heran bila produk ini semakin mudah menembus pasar. Sekarang abon lele tersebut dapat diperoleh di beberapa toserba di Majenang dan beberapa agen di luar kota. Sesekali ada pesanan langsung untuk keperluan hajatan dan rumah makan.
Bahan Baku Berkualitas
Untuk menjaga kelangsungan pasokan bahan baku, Hj. Murti merintis Koperasi Wanita Sejahtera. Dari 30 anggota yang aktif, 15 orang di antaranya membudidayakan lele. Ia dapat membeli lele seharga Rp10.000, lebih murah Rp5.000 dari harga pasaran. “Saya memperoleh lele dengan kualitas baik karena lele yang saya beli dibudidayakan dengan pakan pellet,“ jelasnya. Strategi pendirian koperasi ini cukup berhasil untuk menghemat biaya produksi dan memberi pasar yang jelas kepada anggota koperasi pembudidaya lele.
Ibu haji ini memproduksi abon dua hari sekali. Sekali produksi membutuhkan lele konsumsi segar sebanyak 10 kg. Proses pembuatan abon tergolong cukup sederhana. Pertama, lele dipotong kepalanya lalu direbus kurang lebih 20 menit. Setelah masak, kulitnya dikupas untuk diambil dagingnya saja. Pilihan daging dicampur dengan bumbu lalu digoreng hingga kering. Kemudian abon dimasukkan alat pengering hingga kering angin. Dari 10 kg lele segar dihasilkan 3 kg siap kemas ukuran 1 ons. Ketika ditanya biaya produksi, ia mengungkap, “Untuk memproduksi satu kilo abon lele membutuhkan biaya produksi Rp28.000.“ Jadi, laba kotornya sekitar Rp116 ribu per sekali produksi.
Sukses dengan abon lele, pada awal tahun 2009 Hj.Murti mencoba membuat abon gurami. Namun sampai sekarang produksinya masih terbatas mengingat harga bahan baku gurami cukup mahal, sekitar Rp30.000 per kg. “Banyak yang mengatakan rasa abon lele lebih enak daripada abon gurami,” ujarnya. Ia berharap kelak ada yang mau membantunya memantenkan abon buatannya ini.
Ahmad Nurkhayadin (Kontributor Purbalingga)