Petani rela menunggu lima bulan untuk memanen padi hitam varietas Cempo Ireng karena hemat pupuk, tahan kekeringan, dan harga jual gabahnya tinggi.
Hal itu diungkapkan Jamasto, petani Cempo Ireng di Yogyakarta. Dari pengalamannya sendiri menanam di lahan seluas 6,5 ha dan beberapa petani binaannya, padi lokal ini memberikan keuntungan lebih ketimbang varietas-varietas unggul berumur pendek, seperti IR 64.
Hitungan-hitungan per 1.000 m2, Cempo Ireng hanya butuh 40 kg pupuk organik, 5 kg urea, dan 10 kg Phonska yang senilai Rp45.000. Sedangkan varietas padi umur pendek atau hibrida untuk luasan yang sama perlu 50 kg urea, 20 kg TSP, dan 5 kg KCl sehingga biayanya mencapai Rp127 ribu. Hasil panennya sama-sama 5 kuintal gabah kering panen (GKP). Bedanya, si Hitam baru bisa dipanen pada 156—160 hari setelah tanam (HST), sementara varietas hibrida cukup 90 hari.
Waktu yang lebih lama itu memberikan hasil jauh berbeda. Gabah Cempo Ireng laku dijual Rp8.000 per kg sehingga pendapatan petani mencapai Rp4 juta per 1.000 m2. Dikurangi biaya pupuk Rp67.000, ia masih mengantongi Rp3,9 juta atau Rp788 ribu per bulan. Untuk padi biasa, harga gabah di DIY per Februari 2010 masih Rp2.500 per kg. Jadi, total pendapatan petani hanya Rp1,25 juta. Dikurangi ongkos pupuk Rp127 ribu, hanya tersisa keuntungan Rp1,12 juta atau Rp374 ribu per bulan.
Meskipun keuntungannya dua kali lipat, menurut Jamasto, petani masih enggan menanam. Soalnya, “Burung lebih menyukai padi ini daripada jenis yang lain,” urai Ketua Kelompok Tani Sarana Makmur di Barak II, Margoluwih, Seyegan, Sleman ini. Di samping itu petani pun merasa tidak sabar untuk menunggu panen. Padahal harga berasnya selangit, berkisar Rp25.000—Rp30.000 per kg. Maklum saja beras ini eksotik karena berwarna hitam, pulen, dan konon juga berkhasiat obat.
Budidayanya Mudah
Budidaya jenis padi hitam ini, kata Jamasto, sama saja dengan padi lain. Hanya saja karena belum ada benih yang tersertifikasi, petani tidak bisa menelusuri benihnya keturunan ke berapa. Sebaiknya petani menanam keturunan pertama (F1) dan keturunan kedua (F2) karena daya tumbuh benihnya memang berbeda. Pun ketahanannya terhadap serangan penggerek batang menurun. Namun produktivitasnya justru cenderung naik meskipun belum dapat dipastikan besarannya.
Untuk menumpas penggerek batang, Jamasto mempunyai resep. Apabila di pesemaian muncul banyak kupu-kupu, sangat mungkin banyak telur di tunas daun pertama. Karena itu, pada saat pencabutan bibit untuk ditanam, akar dan bagian bawah tanah dicelup pada larutan daun pucung (keluwak) agar telur-telur calon penggerek tersebut mati. Komposisinya 10 lembar daun ditumbuk halus ke dalam satu liter air.
Penanaman dilakukan saat bibit berumur 14 hari. Jarak tanamnya 25 x 25 cm2 dengan sistem satu lubang untuk satu tanaman. Jadi, untuk luasan 1.000 m2 cukup benih sekilo yang harganya Rp30.000 per kg. Dengan cara tanam ini, jumlah anakan dapat mencapai 35—40 batang.
Sebaiknya pula air tidak merendam lahan saat penanaman agar bibit tidak perlu ditancapkan tetapi cukup ditempelkan. Penanaman sebaiknya dilakukan pada musim peralihan dari penghujan ke kemarau, seperti Februari, untuk menghindari air berlebih.
Sampai umur 50 hari kondisi tanah sebaiknya tidak banyak air agar fase vegetatif berjalan sempurna. Pemupukan dilakukan tiga kali. Pupuk dasar dengan pupuk organik pada hari ketiga sebelum tanam, pemupukan urea dan Phonska pada 25—30 hari, lalu pemupukan pupuk organik kembali pada 45—50 hari. Apabila penggerek batang masih menyerang, taburi lahan dengan dolomit 20 kg per 1.000 m2.
Faiz Faza (Yogyakarta)