Selasa, 16 Pebruari 2010

Mencontoh Lemboepasang

Produktivitas per ekor 15—35 liter per hari. Wajar bila usahanya menguntungkan.

Dusun Rojopasang, Gerbo, Purwodadi, Pasuruan, Jatim, dipilih CV Lemboepasang untuk mengusahakan sapi perah. Selain ketinggian tempatnya ideal, 800 m dpl, di kawasan itu sudah ada jaringan pemasaran melalui KUD, serta cukup dekat dengan industri pengolahan.

Menurut Budi Tri Akoso, satu dari enam orang pemilik perusahaan itu, Lemboepasang memulai usaha dengan mengupayakan 7—12 ekor sapi perah. Produksi susunya pun baru 100—200 liter sehari. “Karena belum memiliki tangki pendingin dan membiayai transportasi, susu tidak dijual langsung ke industri, hanya disetorkan ke KUD,” ungkap Budi yang mantan Kepala Badan Karantina Pertanian itu.

Itu cerita tiga tahun silam. Kini, populasi sapi Lemboepasang sudah mencapai 86 ekor sapi dewasa, seekor pejantan, dua ekor sapi dara, dan 21 ekor pedet. Dari jumlah itu, produksi susu segar per hari 980—1.000 liter.

Total lahan yang dijadikan tempat usaha bertambah dari 6 ha menjadi 34 ha. Sarana pendukung produksi pun dilengkapi, mulai dari mesin pemerah, tangki pendingin, hingga armada pengangkut susu. “Dengan kelengkapan armada, kemampuan produksi, dan kualitas produk yang bagus, sekarang kami bisa langsung mengirim susu ke IPS. Tetapi tetap dengan rekomendasi dan atas nama KUD. Karena aturannya kan seperti itu,” papar Budi yang pernah menjabat Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan, Deptan, itu.

Dua Kunci

Menurut Ari Minarsis, Koordinator Keswan dan IB Lemboepasang, 60% produksi susu masuk ke KUD Purwodadi dan 40% dijual ke pasar Surabaya dalam bentuk mentah dan pasteurisasi kemasan satu liter serta cup 240 ml. Harganya susu kelas A diterima KUD dengan harga Rp3.100 per liter. Sedangkan harga susu mentah di luar sekitar Rp5.000 per liter, dan susu pasteurisasi di Surabaya Rp7.000 per liter.

Budi menambahkan, untuk menghasilkan susu berkualitas tinggi, pihaknya hanya memegang dua kunci: pakan dan kesehatan ternak. Ransum pedet, sapi bunting, sapi laktasi, dan sapi kering berbeda-beda. Oleh sebab itu, sejak awal, Budi dan kawan-kawan membuat pakan sendiri. Berbahan lokal, selain rumput, ditambah ampas tahu dan kecap, bungkil kelapa sawit, bekatul, serta polar. “Perbandingan hijauan dan konsentrat, 40 : 60. Konsentrat kami pacu berdasarkan produktivitas susu,” tandas Ari.

Selain itu, tiap individu sapi memiliki kartu makan sehingga diketahui dengan pasti kebutuhan pakannya. Jadwal pemberian pakan, praperah diberi konsentrat pukul 03.30, menir kedelai pukul 04.00, dan rumput pukul 09.00. Kemudian praperah sore dijatah konsentrat pada pukul 12.00, menir kedelai pukul 12.30, dan terakhir rumput sekitar pukul 14.00.

Tentang kesehatan, Lemboepasang mensyaratkan ternaknya bebas Brucellosis, meskipun semuanya sapi lokal. “Kami membuat perjanjian dengan penjual, kalau terbukti kena bruselosis, sapi batal dibeli. Semua ternak kami uji kesehatannya di lab,” ucap Budi. Penyakit bruselosis dapat mengakibatkan keguguran. Juga menurunkan produksi susu karena merusak sistem reproduksi. Plus bersifat zoonosis atau dapat menular kepada manusia. Di samping itu, Lemboepasang hanya menggunakan kawin suntik untuk mencegah masuknya penyakit.

Untuk alasan kesehatan itu pula peternakan ini menerapkan dua kali pemerahan. Pertama dengan mesin pemerah dan kedua dengan tangan sebagai pembersihan karena mesin tidak dapat menghabiskan seluruh susu. Kadang masih ada sisa di dalam puting yang dapat menimbulkan mastitis (radang ambing).

Dengan sistem pakan dan kesehatan seperti itu, produktivitas sapi di Lemboepasang rata-rata mencapai 16,5 liter per hari. Bahkan ada 4—5 ekor yang sampai 29—30 liter. Jumlah sapi yang kini dalam kondisi memproduksi susu (fase laktasi) sebanyak 65 ekor. “Dengan produktivitas seperti, usaha kami untung,” aku Budi. Kenyataan itu membuktikan, bila dikelola dengan baik, sapi perah lokal setara dengan sapi impor.

 Dadang, Faiz Faza (Yogyakarta), Indah RP (Surabaya)

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain