Hingga saat ini, petambak di Indonesia masih bergelut dengan kematian udang karena buruknya kondisi lingkungan.
Udang banyak terserang berbagai penyakit, seperti bercak putih atau White Spot Syndrome Virus (WSSV), Taura Syndrome Virus (TSV), dan Infectious Myo Necrosis Virus (IMNV). Wabah penyakit ini biang keladi kerugian produksi udang yang diusahakan secara intensif dan tradisional. Hal ini mengemuka dalam workshop sehari bertema “Upaya Mengatasi Masalah Kegagalan Udang di Lampung yang mengambil tempat di Bandarlampung (20/1).
Menurut Ismail Said, Ketua Korda Lampung Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), petambak udang di daerahnya mengalami penurunan produksi hingga 40% sejak dua tahun terakhir. “Sebenarnya, tidak hanya Lampung tapi juga para petambak udang di Indonesia,” katanya di sela-sela acara diskusi tersebut. Agusri Syarief, petambak di Lampung mencontohkan, produksi udang Vanname di tempatnya kini hanya 12—13 ton per ha, padahal pada 2007 mencapai 20 ton per ha.
Sementara itu, Wakil Ketua MAI Edward Danakusumah mengatakan, salah satu penyebab turunnya produksi udang budidaya 2009 diperkirakan akibat kondisi perairan sudah tidak mendukung dan juga induk yang membawa penyakit. “Petambak harus terus melakukan pengolahan limbah dan memperhatikan kesehatan benur yang akan ditebar,” ujarnya. Di Teluk Lampung, imbuh dia, perairannya tidak mendukung untuk budidaya udang, apalagi dengan merebaknya penyakit IMNV alias Myo. Virus ini sudah menurunkan produksi 40%—50%.
Myo Masih Mengancam
Penyakit Myo memang tidak mematikan udang secara massal, tapi secara bertahap kematian bisa mencapai 40% lebih. Menurut Dr. Yuri Sutanto, Aquatic Health Centre PT CP Prima, virus ini pertama kali ditemukan pada udang Vanname yang dibudidayakan secara intensif di daerah Situbondo, Jatim.
Tanda klinis yang tampak, munculnya warna plaque atau putih kapas pada bagian otot. Tanda ini terlihat dari samping maupun punggung. Semakin hari semakin jelas, selanjutnya terdapat warna kemerahan pada bagian abdomen ruas kelima dan keenam, pembesaran organ limfoid disertai kematian udang secara bertahap. “Kematian terjadi pada saat gejala klinis sudah parah, yaitu ekor merah, dan atau seluruh tubuh udang memutih,” jelasnya.
Virus ini sangat sulit dilihat secara visual, mikroskopis, dan histologis. Hanya real time Polimerase Chain Reaction (PCR) saja yang dapat memastikan penyakit tersebut. Myo sendiri bukan merupakan penyakit dari Indonesia. Myo pertama menyerang udang di Brasil pada 2003. Kemunculannya di Indonesia diketahui berawal dari Situbondo pada 2006.
Lebih jauh Yuri Sutanto memaparkan, awalnya kematian hanya beberapa ekor dan tidak kelihatan pengaruhnya terhadap pertumbuhan maupun konsumsi pakan. Namun jumlah kematian terus meningkat. “Itu akan terus terjadi selama masa budidaya, udang mati akan dimakan oleh udang yang masih hidup, selanjutnya tertular penyakit itu,” terangnya.
Beberapa sebab, tambah Yuri, diduga sebagai pemicu munculnya kasus Myo antara lain guncangan kualitas air. Kualitas air yang buruk menurunkan sistem kekebalan tubuh udang sehingga menyebabkan perbanyakan dan penyebaran virus. Singkat kata, “Udang stres memicu timbulnya infeksi Myo.”
Pencegahan dan Penanggulangan
Agusri Syarief mengungkap, dengan masih merebaknya virus-virus pada tambak udang, para petambak kini terus mencari solusi mengurangi kerugian. Di antaranya dengan tetap melakukan pengolahan limbah tambak dan memastikan induk yang diimpor oleh pembenuran betul-betul sehat.
Menurut Edward Danakusumah, ada kemungkinan virus terbawa dari induk udang yang diimpor. ”Untuk itu, sebaiknya petambak melakukan pengolahan limbah tambak dan memperhatikan benur yang dibeli. Benur bisa diperiksakan sebelum ditebar,” ujarnya.
Untuk mengantisipasi tingkat kematian benur lebih tinggi lagi, para petambak di Lampung mengurangi padat tebar, dari 150 ekor per m2 menjadi 100 ekor per m2. “Belum ada metode penyembuhan penyakit Virus yang efektif dan ekonomis hingga saat ini,” tegas Yuri. Karena itu ia menganjurkan penebaran benur berkategori bebas penyakit spesifik (SPF) dan bebas penyakit berbahaya lain, melakukan penerapan biosekuriti secara ketat di tambak, dan menyaring air yang masuk ke kolam.
Penyaringan air tersebut untuk mengurangi risiko masuknya bibit penyakit ke dalam sistem budidaya. Dengan menekan jumlah air yang masuk ke tambak berarti mengurangi kemungkinan masuknya patogen. Karena itu tambak harus memiliki tandon air yang memadai dan dilengkapi filter.
Sedangkan menurut Edward Danakusumah, petambak juga harus selalu menjaga lingkungan tetap stabil, mengendalikan plankton yang merugikan, dan bakteri vibrio. Selain itu, gunakan pakan berkualitas dan manajemen pakan yang tepat. Pengelolaan pakan harus dilakukan agar mutu air tetap terjaga.
Beberapa hal yang patut diperhatikan adalah mengubur bangkai udang dan mengisolasi kolam terserang Myo. Bila udang sudah cukup besar dan kematian cukup banyak, lakukan panen untuk mencegah kerugian yang lebih besar. Manfaatkan imunostimulan dan vitamin untuk meningkatkan daya tahan udang terhadap serangan penyakit.
Tri Mardi Rasa