Senin, 1 Pebruari 2010

Bukan Menekan Harga

Sejak pertengahan Desember 2009, harga beras mulai naik. Di beberapa daerah, kenaikannya bahkan melebihi 15%. Hingga minggu ketiga Januari 2010, harga beras tetap tinggi, dengan kenaikan mencapai Rp500—Rp1.000 per kg.

Tentu masyarakat maklum bila peningkatan harga berakhir sampai awal tahun. Sebab, peningkatan itu dampak dari perayaan hari-hari  besar. Namun, situasinya akan berbeda ketika harga beras terus naik hingga melampaui ambang batas psikologis.

Wajar bila beragam pertanyaan muncul. Benarkah kenaikan harga beras saat ini fenomena biasa? Apakah kenaikan harga itu merupakan respon pasar atas pasokan beras yang menurun? Apakah kenaikan harga memang disengaja para spekulan? Benarkah data BPS yang mencatat produksi padi pada 2009 mencapai 63,84 juta ton atau naik 5,83% dari tahun sebelumnya? Di mana hasil panen yang konon meningkat spektakuler itu?

Pemerintah pun berdalih, kenaikan harga beras saat ini disebabkan oleh 7 faktor. Pertama, pengaruh psikologis kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) 2010 sebesar 10%. Kedua, mundurnya masa tanam yang mengakibatkan mundurnya panen akibat dampak El Nino sehingga masa paceklik lebih panjang. Ketiga, peredaran beras bersubsidi belum optimal. Keempat, ekspektasi pedagang dengan gencarnya berita tentang kenaikan harga beras dunia. Kelima, spekulasi kenaikan harga pupuk yang diperkirakan berlaku mulai April 2010. Keenam, hambatan transportasi akibat gangguan cuaca. Serta ketujuh, stok petani, penggilingan, dan pedagang relatif menipis.

Argumen nomor dua tampaknya terpatahkan. Bukankah data BPS—kalau memang benar--menyebutkan produksi padi 2009 berlebih? Ditambah dengan pengakuan Bulog yang mengklaim mempunyai cadangan beras 1,7 juta ton, rasanya Indonesia tidak akan mengalami paceklik panjang. 

Demikian pula dalih ketujuh, tampaknya lemah. Sebab, fakta hasil pemantauan lapangan, pasokan beras di Pasar Induk Cipinang (PIC) Jakarta, kiriman beras dari daerah mengalir lancar dalam kuantitas normal. Anehnya, hingga minggu ketiga Januari 2010, harga beras kualitas bagus di pasar itu masih mahal, naik Rp1.000 per kg.

Guna menahan kenaikan harga beras, pada awal tahun, Bulog menyalurkan Raskin. Kemudian ditindaklanjuti dengan operasi pasar (OP). Kurun 6—26 Januari 2010, Bulog telah menyalurkan Raskin 106.105 ton. Sedangkan realisasi OP sebanyak 275 ton disebar di Mataram, Jakarta, Yogyakarta, Pontianak, dan Ambon.

Dampak penyaluran Raskin dan OP, seperti diakui Bulog, hanya menurunkan harga di Mataram dan Bandung. Harga beras di Mataram turun 0,8% dari Rp6.617 menjadi Rp6.564 per kg. Sementara di Bandung turun 0,4% dari Rp6.057 jadi Rp6.035 per kg. Di daerah lainnya, harga masih tetap bercokol di atas. Pertanyaannya, sudah tepatkah langkah yang ditempuh Bulog untuk mengendalikan harga beras?

Bila kenaikan harga beras sudah dianggap lampu kuning ketahanan pangan kita, tentu kejadian itu perlu disikapi secara arif dan bijaksana. Bukankah setiap kenaikan harga beras 10% akan meningkatkan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan sebanyak 1 juta jiwa?

Alangkah eloknya bila fenomena kenaikan harga beras tahun ini disikapi mendalam kasus per kasus. Sebab, bisa saja gejala kenaikan harga di setiap daerah berbeda. Misalnya antara daerah sentra produksi dan bukan sentra. Antara wilayah yang rawan bencana dengan daerah aman. Atau antarkota, contoh antara Jakarta dan Merauke. Dengan demikian, penanganannya tidak dipukul rata sehingga kebijakan yang ditempuh akan lebih akurat.

Akan ironis bila kenaikan harga beras yang semestinya dinikmati para petani produsen malah ditekan dengan operasi pasar. Masa sih petani yang sudah miskin tetap dipaksa mensubsidi orang kaya? Bukan hanya itu, dengan OP, petani juga dipaksa pula ikut menyangga warga miskin perkotaan. Dalam menyoal ketersediaan beras, tidak layak apabila subsidi dan penyelamatan warga perkotaan menjadi beban petani.

Penanganan warga miskin perkotaan dan perbaikan kesejahteraan petani mestinya terpisah supaya kebijakan yang dilahirkan tidak tumpang tindih. Untuk sementara, bagi petani, okelah melalui pengaturan HPP gabah maupun beras. Sedangkan bagi warga miskin perkotaan, pemerintah mesti banyak menggelar program pemberdayaan, bukan malah menekan harga beras.

Dadang W. Iriana

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain