Keseriusan dalam menjalani pekerjaan membuat skala peternakannya meningkat dari hanya 1.000 ekor menjadi 300 ribu ekor. Pada 2010 ini, banyak peternak ayam yang mulai gulung tikar akibat melambungnya harga obat-obatan dan pakan unggas. Namun itu tidak berlaku pada Yusuf, salah seorang peternak broiler yang masih bertahan hingga kini. Meski diakuinya tidak mudah menjalankan budidaya unggas dan pernah gagal dua kali, toh ia tetap bersikeras berkecimpung di bisnis ini. Tidak Kapok Awal 1992 Yusuf membuka peternakan ayam dengan menjual tanah warisan orang tuanya seluas 1.000 m2 di daerah Bintaro, Kab. Tangerang, Banten. Hasil penjualan ia belikan anak ayam umur sehari (day old chick-DOC) sebanyak 1.000 ekor. ”Saya membuat peternakan hanya sebagai usaha sampingan karena kalau mengandalkan gaji saja tidak bisa menghidupi kedua orangtua dan saudara,” Yusuf mengawali cerita kepada AGRINA. Langkah pertama guru agama honorer sekolah dasar di Bintaro itu ternyata tidak memberi hasil. ”Modal awal yang tadi Rp10 juta tinggal Rp7 juta karena saya tidak mengetahui manajemennya,” lanjut lulusan Fakultas Syariah, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Tidak kapok dengan pengalaman pahit tersebut, pada 1995 Yusuf kembali menjual tanah sekitar 1.000 m2 untuk modal. Ia memulai usahanya lagi dengan kapasitas 500 ekor karena takut rugi. Sedikit demi sedikit ia menuai sukses sampai populasinya berkembang menjadi 50.000 ekor. Saat itulah pekerjaan sebagai guru agama ia tinggalkan demi mengurus peternakan. Namun malang tak dapat ditolak. Yusuf gagal lagi pada 1997 dengan menanggung utang sebesar Rp5 juta. Kemudian ia banting setir menjadi petani. Sungguh sulit ekonominya saat itu sehingga untuk menikah pun ia meminjam uang Rp1 juta ke bank. ”Uang yang terkumpul dari resepsi menikah, saya belikan DOC sebanyak 200 ekor,” kenangnya sambil tersenyum malu. Dari skala 200 ekor itu, ayah dua anak ini terus berupaya meningkatkan populasi ayamnya. Ia membeli 200—400 ekor per minggu. Bila beroleh laba, pembelian DOC dinaikkan lagi menjadi 500 ekor per minggu. Hingga 2003, Yusuf memelihara 100 ribu ekor per periode. Saat wabah flu unggas menyerang, hampir setengah ternaknya mati. Lagi-lagi pria berusia 40 tahun ini tidak jera. Kali itu mobilnya dilego demi peternakannya. Hasil penjualan mobil dibelikan DOC 5.000 ekor per minggu. Ketabahannya berbuah manis. Kini skala peternakannya sudah mencapai 300 ribu ekor dengan laba sekitar Rp20 juta per bulan. Herbal Tetap Dipilih Setelah meraih sukses, Yusuf yang dulu diremehkan keluarga dan masyarakat sekitarnya karena kegagalannya beternak, sekarang malah jadi konsultan bagi peternak pemula. Dalam memelihara ternaknya, ia mengaku masih memanfaatkan herbal di samping obat-obatan kimia dan vaksin. Sebagai peternak yang cukup besar, Yusuf acapkali didatangi para staf technical service (TS). Mereka menawarkan obat dan vitamin. Sebelum memutuskan membeli, ia selalu mau tahu dulu kelebihan dan kekurangan produk tersebut. Saat ini ia menggunakan antibiotika Moxycolgrin HC dan Cyprotylogrin, sedangkan untuk dipilihnya Astresvit dan Agriminovit. Alasannya, biaya per ekor relatif murah, sekitar Rp50. “Keunggulan produk ini juga bisa memperbaiki konversi pakan dan meningkatkan berat badan dan telur, serta meningkatkan daya tahan tubuh ternak,” bebernya. Sebelumnya, Yusuf juga masih menggunakan herbal untuk kesehatan ternaknya seperti temulawak dan kunyit yang sudah digiling. Gilingan ini lalu dilarutkan ke dalam minuman ayam. Agung Christiawan