Dalam situasi pasar yang kian terbuka, mempertahankan pangsa di dalam negeri kian penting. Itulah yang diperjuangkan masyarakat perunggasan saat ini.
Indonesia saat ini berada pada posisi swasembada dalam urusan penyediaan daging unggas bagi masyarakatnya. Namun “kue besar” pelaku bisnis perunggasan nasional itu kian dilirik pemain-pemain internasional, seperti Amerika Serika dan Brasil. Karena itu para pebisnis yang tergabung dalam Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI) merangkul kalangan anggota dewan untuk ikut mengamankan pasar unggas domestik.
Ancaman Permanen
Impor daging unggas potongan, seperti paha ayam (chicken leg quarter-CLQ) dan sayap asal Amerika Serikat (AS) bakal mematikan industri unggas nasional. Karena itu harus ditolak. Begitu kata Don P. Utoyo, Koordinator FMPI dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR-RI yang dipimpin Anna Mu’awanah, SE, MH dan dihadiri sejumlah anggota (21/1).
Dalam paparannya, Don mengatakan, AS memproduksi ayam cukup besar. Data perkiraan dari Kementerian Pertanian AS, Oktober 2009, menunjukkan, produksi daging unggas broilernya hampir 16 juta ton. Dikurangi konsumsi domestik sekitar 13 juta ton, maka ada kurang lebih 3 juta ton, terutama berupa CLQ, yang harus diekspor.
Konsumen AS sendiri sangat selektif. Mereka emoh makan potongan ayam seperti paha bawah dan sayap, karena menganggapnya makanan hewan. Mereka lebih suka daging bagian dada. Paha dan sayap lebih banyak dimakan kelompok miskin tertentu.
Amerika kini harus kerja lebih keras untuk melempar paha ayamnya akibat pembatasan impor di negara-negara konsumennya, seperti Rusia. Selain Rusia, AS juga mengekspor ke Jepang, China, Arab Saudi, dan beberapa negara Eropa.
Indonesia sebagai negara berpenduduk besar menjadi target ekspor CLQ sehingga pebisnis di sini memandang CLQ sebagai ancaman tetap dan permanen. “Masuknya CLQ ke Indonesia akan menghancurkan usaha perunggasan di Indonesia karena harganya jauh lebih murah dibandingkan produk unggas dalam negeri,” jelas Don. Untung saja, setiap ada rencana impor daging unggas selalu mendapatkan penolakan dari masyarakat Indonesia yang sebagian besar beragama Islam lantaran CLQ asal Amerika juga diragukan kehalalannya.
Sejak satu dekade lalu, negara adidaya itu terus membidik Indonesia sebagai sasaran pasarnya. Tak heran dalam strategi diplomasi perdagangan AS-Indonesia, CLQ selalu menempati daftar tunggu. Inilah yang menghantui pelaku perunggasan Indonesia.
Ancaman lainnya adalah masih munculnya beberapa penyakit yang disebabkan bakteri maupun virus, seperti tetelo, Coryza, CRD, Koksidiosis, Gumboro, ILT dan AI (Flu Burung) dan juga pajak pertambahan nilai (PPN) yang fluktuatif.
Terkait hal itu, Rahmat Nuryanto, Kabid Kerjasama Antarlembaga dari Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) mengungkapkan, beberapa penyakit sudah bisa dikendalikan. Namun satu yang perlu mendapat perhatian adalah flu burung (AI). “Memang dalam beberapa waktu terakhir AI agak reda. Namun demikian kami mohon kepada Komisi IV DPR-RI mengimbau pemerintah agar tidak terlena karena suatu saat AI apabila tidak dikendalikan akan bisa timbul lagi, terutama bagi peternak rakyat. Ini perlu perhatian dari pemerintah untuk memberikan penyuluhan,” paparnya.
Perlu Perhatian Pemerintah
Dalam pandangan Don, komoditas unggas berprospek pasar sangat baik karena didukung karakteristik produknya yang dapat diterima sebagian besar masyarakat Indonesia dan harganya relatif terjangkau. Tingkat konsumsi produk unggas (daging dan telur) di Indonesia per kapita per tahun pun masih sangat rendah. Dan peluang untuk meningkatkannya sangat terbuka sejalan pertumbuhan penduduk dan perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Sayangnya, lanjut Don, perunggasan belum mendapat perhatian yang berimbang dari pemerintah, terutama ditinjau skala prioritas pembangunan sektor pertanian secara keseluruhan dan alokasi anggaran pembangunan. Padahal omzet bisnis perunggasan 2008 mencapai Rp85 triliun atau US$9 miliar untuk bibit, pakan, ayam, dan telur hasil budidaya, aditif, obat-vaksin-sera, tanpa produk olahan dan jasa-jasa.
Dalam tanggapannya, sejumlah anggota Komisi IV DPR-RI berjanji akan memperjuangkan apa disampaikan FMPI. Nani, anggota DPRI dari Partai Demokrat mengatakan, “Kami ingin bantu apapun bentuknya, baik itu dari segi perpajakan, kesehatan, pembibitan karena itu akan kembali ke masyarakat,” janjinya.
Sementara itu, Supriyatno, pengurus Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) yang juga anggota Komisi yang membidangi pertanian tersebut menyarankan, dalam menghadapi pemberlakuan kawasan perdagangan sebaiknya masyarakat perunggasan membentuk Indonesia Incorporated. Ini untuk menyatukan peternak unggas skala kecil dan peternak skala besar.
Menurut Supriyatno, pengusaha unggas skala kecil dan besar harus membangun kemitraan yang saling menguatkan mengingat ancaman pasar bebas sudah di depan pintu. “Dalam persaingan serba ketat sekarang ini, mari bapak-bapak sekalian sebagai industrialis, saudara-saudara LSM, gabungan pengusaha ternak kita bersama-sama mengatasinya,” tambahnya.
Sementara I Made Urip, anggota dewan yang lain, juga menjanjikan dukungan secara politik bagi FMPI agar Indonesia tidak menjadi tempat buangan produk unggas AS.
Marwan Azis
Rusia Hadang CLQ Amerika Sejak pertengahan Januari 2010, Rusia mengembargo produk unggas yang menggunakan klorin dalam pencucian karkasnya. Rusia termasuk pengimpor terbesar produk paha ayam utuh (chicken leg quarter-CLQ) dari Amerika. Volumenya pada 2008 mencapai 1,159 juta ton per tahun. Untuk mengurangi derasnya impor tersebut, pemerintah Negeri Beruang Merah itu menerapkan kuota dan mendongkrak produksi dalam negeri sehingga impornya diperkirakan turun tinggal 855 ribu ton tahun lalu. Kini Rusia lagi-lagi mencari alasan yang masuk akal dalam rangka “menolak” impor paha ayam berharga miring itu. Kali ini alasannya, seperti ditulis Jackie Linden dalam The Poultry Site, adalah penggunaan klorin untuk pencucian karkas ayam. Padahal pemanfaatan klorin ini terbilang rutin di rumah-rumah potong ayam di Amerika. Penolakan tersebut akhirnya membawa delegasi dagang tingkat tinggi ke meja perundingan. Bahkan Presiden Obama pun terlibat dalam urusan itu ketika dua senator pertaniannya berkirim surat tentang tidak terbuktinya tudingan Rusia soal keamanan pangan, termasuk penggunaan klorin pada produk unggas. Sejauh ini belum ada laporan tentang hasil pembicaraan tingkat tinggi itu. Namun, tampaknya Thailand jeli mengambil peluang kekosongan pasokan dari Amerika dengan menawarkan produknya ke Rusia. Sementara itu, pengekspor daging unggas terbesar dunia, Brasil, membukukan peningkatan penjualan tahun lalu. Timur Tengah menjadi tujuan utama ekspornya, disusul Afrika, sedangkan volume jual ke belahan dunia lain turun. Di bagian lain pengumumannya, eksportir Brasil tampaknya akan mencari target-target baru untuk melempar produknya, antara lain Indonesia, Malaysia, Nigeria, Sudan, Meksiko, Amerika, dan Senegal. Yang menarik, Rusia tidak termasuk sasaran tembak Brasil. Sudah siapkah Indonesia? Peni SP