Konsep usaha terintegrasi ternyata tidak hanya pas diterapkan oleh pemodal besar tapi juga di tingkat kelompok ternak beserta koperasinya.
Memasuki lokasi Kelompok Tani Ternak (KTT) Bumi Peternakan Wahyu Utama di Jalan Raya Tuban-Semarang Desa Sukolilo, Kec. Bancar, Tuban, Jatim, terdengar lenguhan ratusan sapi. Anehnya, tidak tercium bau menyengat maupun terlihat kondisi kotor yang biasa kita temui peternakan tradisional lainnya. Dengan sejumlah nilai plus lainnya, kelompok ini berhasil meraih penghargaan Ketahanan Pangan Nasional 2009 Kategori Kelompok Peternak Sapi Potong Dari Hulu Sampai Hilir.
Cikal bakal kelompok tersebut adalah Drs. H. Joko Utomo. Pada 1992, ia memulai usaha sapi potong sebanyak lima ekor dengan mengikuti program pemerintah Gaduh Sapi. Dengan semakin banyaknya populasi sapi, ia dan beberapa peternak lalu mendirikan KTT Bumi Peternakan Wahyu Utama pada 2003. Dua tahun kemudian menyusul Koperasi Peternakan Wahyu Mitra Utama. Alasannya, ”Dengan kebersamaan, kita bisa menciptakan ekonomi kerakyatan melalui koperasi peternakan yang amanah dan profesional sesuai harapan teman-teman,” tutur ketua kelompok tersebut kepada AGRINA.
Saat ini jumlah sapi mereka mencapai 700 ekor berbagai macam jenis. Tidak hanya menggemukkan sapi tapi mereka juga melakukan pembibitan karena peluang bisnis bibit cukup bagus untuk menyediakan bakalan bagi peternak pemula. Berbekal reputasi yang baik, kelompok ini bisa memperoleh kucuran Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) senilai Rp11 miliar untuk populasi 1.100 ekor.
Tidak Ada yang Terbuang
Model usaha Joko berbasis kelompok yang sekarang beranggotakan 99 orang. Ia juga mengembangkan peternak binaan sampai 500 orang yang tersebar di Tuban Madiun, Ngawi, Tulungagung, Mojokerto, Malang, dan Brebes. ”Binaan ini tidak terikat. Kita punya standar operasional yang harus diterapkan peternak, nanti hasilnya kita beli. Sedangkan anggota koperasi harus punya kandang standar minim lantainya dicor, ada tempat makan-minumnya juga dicor,” urai Joko.
Teknik penggemukan lebih mengutamakan pemberian pakan dari limbah pertanian yang difermentasi. Pola pemberian pakannya, pagi konsentrat, siang hijauan, dan sore-malam-hingga pagi lagi dijatah konsentrat. Konsentrat ini dibuat dari jerami, kulit kacang, dedak, kulit ari jagung, kulit kopi, kulit kedelai, bungkil kopra, bungkil sawit, dan tebon jagung. ”Dengan pakan konsentrat fermentasi seperti itu pertambahan bobot rata-rata 1,2 kg per hari,” ungkap Joko.
Bila biaya operasional penggemukan Rp15.000 per hari per ekor dan harga jual sapi hidup Rp23.000 per kg, maka peternak untung Rp8.000 per kg. Belum termasuk rupiah dari hasil pengolahan limbah.
Pemasaran sapi hasil penggemukan tidak mengikat. Kalau harga di pedagang lain lebih tinggi, maka sapi dilepas. Sebaliknya jika sama, Joko akan ambil sapi tersebut dan memotongnya sendiri karena memiliki tempat pemotongan. Jumlah potongnya 2—3 ekor per hari. Sedangkan produksi bibitnya 8 ekor per minggu.
Nyaris tidak ada yang terbuang dari usaha ini. Semua limbah dijadikan pupuk organik. ”Kita mengelola limbah pertanian untuk konsentrat yang kita jual ke anggota Rp1.300 per kg. Kita juga membuat probiotik Bio Energi untuk formula pakan konsentrat, Bio Fermentor untuk formula pupuk organik, dan Sari Lemu, jamu sapi agar cepat gemuk dari rempah-rempah. Alhamdulillah, semua anggota menggunakan produk buatan kelompok sendiri,” terang Joko.
Sedangkan untuk pengembangan usaha olahan, seperti bakso, kerupuk paru, kulit dan tulang muda dikerjakan kelompok tani wanita. Penjualannya melalui koperasi atau langsung ke pasar.
Indah Retno Palupi (Surabaya)