Peningkatan produksi 353% sektor budidaya membuat banyak kalangan menyangsikan daya serap pasarnya.
Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan pertumbuhan produksi perikanan budidaya sebesar 353% sampai 2014. Ada enam komoditas yang menjadi unggulan sektor budidaya. Antara lain rumput laut, lele, patin, bandeng, nila, dan kerapu. Keenamnya dianggap berpotensi digenjot dengan dua alasan, yaitu ketersediaan lahan dan teknologi.
Berkaca pada sukses China mengatrol produksi budidaya pada era 1990-an, Fadel Muhammad, Menteri Kelautan dan Perikanan pun ingin melakukan hal yang sama. Bahkan ia yakin Indonesia memiliki potensi lebih dibandingkan Negara Tirai Bambu tersebut. Beberapa alasan penunjangnya adalah panjang garis pantai, luas laut dangkal, jumlah teluk, sungai dan rawa. “Kita sudah pelajari apa yang pernah dilakukan China, saya yakin Indonesia akan menjadi produsen produk perikanan terbesar dunia. Masalah ketersediaan lahan kita lebih unggul,” ungkapnya dalam seminar Outlook Perikanan 2010 yang digelar Majalah TROBOS dan Asosiasi Industri Pakan Ternak (GPMT) di Jakarta (14/01)
Menurut Fadel, ada tiga kunci keberhasilan China. Pertama adalah penyempurnaan teknik budidaya. Faktor ini, lanjutnya, mampu mengatrol 40 kali lipat produksi perikanan budidaya China dari 1,5 juta ton pada 1978 menjadi 37 juta ton 2004. Percepatan produksi tertinggi China terjadi dalam rentang 1990—1995.
Faktor lain adalah kemajuan ilmu pengetahuan perikanan. Dari pengamatan Fadel, 42% pertumbuhan budidaya akan dipengaruhi oleh faktor ini, terutama pakan, pemuliaan, dan pengendalian penyakit. Yang terakhir adalah diversifikasi budidaya perikanan, seperti polikultur, pertanian terpadu, dan budidaya semi intensif.
Pasar
Berbagai pihak menyangsikan realisasi ambisi besar Kementerian Kelautan dan Perikanan tersebut, terutama menyangkut daya serap pasar, baik pasar ekspor maupun dalam negeri. Sebagai catatan, hingga kini tingkat konsumsi produk perikanan kita baru 16 kg per kapita per tahun. Menariknya lagi, Pulau Jawa yang notabene terpadat penduduknya, malah tingkat konsumsinya lebih kecil dibandingkan wilayah lain.
Fadel yakin, pasar domestik adalah pasar potensial. Jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta jiwa menjadi alasannya. Langkah mendongkrak konsumsi ikan, lanjutnya, akan gencar dilakukan melalui kampanye makan ikan. “Gizi ikan itu sangat baik. Harganya pun relatif sangat murah, makanya kita akan promosikan terus program gemar makan ikan,” ujar mantan Gubernur Gorontalo tersebut.
Made, L Nurjana, Dirjen Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan menambahkan, tingkat ideal konsumsi ikan mestinya 38 kg per kapita per tahun supaya kenaikan produksi budidaya dapat terserap, “Memang dibutuhkan kerja keras dan kerjasama dari semua sektor,” tukasnya.
Sejalan dengan itu, Kementerian ini menyiapkan program One Village One Fish-Market alias OVOM. Artinya, di setiap sentra penghasil ikan atau minapolitan akan dibangun juga pasar khusus ikan di dalamnya. Hal ini dilakukan untuk merangkul pasar dalam negeri.
Victor PH Nikijuluw, Direktur Usaha dan Investasi, juga dari kementerian yang sama, menyatakan, ada empat langkah dalam pengembangan OVOM. Yaitu revitalisasi pasar tradisional yang sudah ada dengan memperbaiki fasilitas khusus los penjual ikan, membangun pasar tradisional baru khusus produk perikanan, menyediakan pasar ikan bergerak berupa mobil boks berpendingin yang akan keliling di beberapa lokasi serta mengikutsertakan swasta dengan membuat toko waralaba.
“Karena itulah kita membutuhkan adanya semacam ‘Bulog Perikanan’. Mereka yang akan menyimpan ikan dalam jumlah besar yang akan menyalurkannya untuk dikonsumsi di dalam negeri," ungkap Victor. Lebih jauh ia menjelaskan, program OVOM sudah berjalan sejak awal Januari 2010. Pada APBN 2010, proyek ini mendapat alokasi anggaran sebanyak Rp100 miliar.
Ekspor Timur Tengah
Lalu bagaimana dengan peluang ekspor? Apalagi dengan dibukanya perdagangan bebas ASEAN dan China. Rudyan Kopot dari Kamar Dagang Indonesia (Kadin) bidang Agribisnis, yang juga pembicara dalam Outlook Perikanan 2010, melontarkan pendapat lain. Berdasar perhitungannya, pada 2012, China dan India malah akan menjadi pengimpor udang. “Kenaikan biaya hidup di India dan China sangat luar biasa. Dengan begitu cost (biaya produksi) mereka akan meningkat. Kalau kita bisa meningkatkan produktivitas dan menurunkan cost kita dapat bersaing,” jelasnya.
Berdasar data FAO, dengan asumsi tingkat konsumsi ikan tidak bertumbuh, maka pada 2030 dibutuhkan tambahan produksi ikan 38 juta ton. Selain itu, lanjut Rudyan, besarnya keinginan masyarakat AS dan Eropa untuk beralih dari mengonsumsi daging ke ikan akan sangat mempengaruhi konsumsi ikan dunia.
Selain China dan India, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga akan membidik pasar Timur Tengah, Afrika, dan Eropa Timur. Menurut Fadel, tingkat persaingan produk perikanan di negara-negara tersebut belum terlalu ketat. Ditambah angka konsumsi produk perikanannya yang cenderung terus naik tiap tahun. Selama ini, produk perikanan Indonesia masih mengandalkan pasar AS dan Eropa Barat.
Target pencapaian ekspor perikanan 2010 mencapai US$2,9 miliar. Ini langkah berkelanjutan menuju target 2014 yang senilai US$5 miliar. Dengan kata lain, setiap tahun akan dikejar pertumbuhan 14,67%. Kita lihat saja perkembangannya.
Selamet Riyanto