Senin, 18 Januari 2010

Food Estate dan KEK

Lukisan pertanian dan pedesaan kita bakal berubah, manakala peraturan pemerintah (PP) tentang food estate terbit dalam pekan-pekan ini. Pemandangan persawahan padi yang tadinya melulu digarap petani dan keluarganya pada petak- petak sawah yang cuma setengah sampai belasan hektar, akan dihiasi dengan hamparan persawahan ribuan hektar yang dikelola korporat. Padang pengelolaan tanaman pangan (serta perkebunan dan peternakan) skala luas ini akan berada di pulau-pulau besar yang jarang penduduk.

Proyek food estate menjadi bagian dari program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, tapi gagasannya sudah dimunculkan pada Kabinet Indonesia Bersatu sebelumnya. Pengutamaannya pada padi, jagung, kedelai, tebu, dan peternakan sapi. Sejumlah kabupaten di seberang menyambut penuh semangat. Merauke membuktikan dirinya paling siap. Kabupaten itu harus diakui sebagai tempat ideal bagi pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan, dan peternakan dalam skala besar dengan manajemen modern. Lahannya landai dan sudah siap 2,49 juta ha, empat-perlimanya merupakan lahan basah. Wilayah potensial lainnya ada di Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Pulau Seram Barat, dan Pulau Buru.

Food estate akan ditempatkan di kawasan-kawasan ekonomi khusus sehingga peraturan pemerintah yang diterbitkan merupakan turunan dari UU No 39/2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus, serta  UU No 12/1992 tentang Budidaya Tanaman. Satu lagi PP yang menunjang adalah tentang pemanfaatan lahan terlantar. Kawasan-kawasan ekonomi khusus ini akan menikmati kemudahan dalam perizinan, permodalan, ketenagakerjaan, pelabuhan, keimigrasian bagi orang asing pelaku bisnis. Ada pengurangan pajak bumi dan bangunan dan pajak daerah, penangguhan bea masuk, peniadaan PPh impor, PPN dan PPnBM, serta bebas cukai untuk bahan baku atau bahan penolong.

Food estate dipandang positif berkaitan dengan skema inti-plasma antara pemodal dan petani, pengembangan industri dan manufakturingnya, serta pemberdayaan usaha mikro, kecil, menengah (UMKM), dan koperasi. Ia juga terobosan sebagai perluasan lahan dan dengan mekanisasi menjawab masalah kekurangan tenaga petani seperti yang dialami pertanian keluarga akibat anak-keturunannya enggan bertani. Memberi inovasi kepada pertanian tradisional untuk beragribisnis secara kolektif (dalam koperasi), menggabungkan petak-petak sawahnya dalam hamparan lebih luas dan menerapkan metode bertani lebih efisien.

Food estate dan KEK seharusnya juga menjadi bagian dari usaha mengimbangi liberalisasi perdagangan dan komitmen kita pada berbagai free trade agreement (FTA), terutama yang terakhir ini, ASEAN-China FTA. Karena di kawasan itu dikembangkan mulai dari on farm sampai pada industri hilir, pengemasan dan rantai pasokan. Artinya, memproduksi barang barang jadi yang – karena ditunjang berbagai fasilitas - mampu bersaing dengan produk dari luar. Maka, melalui KEK dan Food Estate dikubur budaya mengekspor bahan mentah demi mendapatkan duit dalam sekejap tapi mengeluarkan duit lebih banyak untuk mengimpor barang jadi yang mentahnya berasal dari kita.    

Tapi KEK dan pengusahaan pangan skala luas juga mengundang pandangan kritis karena dianggap menguntungkan pemilik modal besar dan memberi peluang pada asing mengontrol ekonomi pangan dan pertanian kita. Beberapa pengamat juga skeptis terhadap akurasi dan keabsahan data areal lahan, haknya serta status peruntukannya. Terhadap pembagian tataruang dan tumpang tindih penguasaan lahan, yang kebanyakan terjadi justru di antara level pemerintahan dan antar-instansi (sektor pertanian, kehutanan, lingkungan hidup, industri, pertambangan).  

Tajuk ini ingin melihat sisi positifnya. Food Estate di dalam KEK berarti memadukan usahatani dengan industri dan manufakturingnya di satu wadah. Hasilnya bisa diekspor, atau setidaknya menutup alasan untuk impor karena sudah tersedia buatan dalam negeri yang bermutu. Tentang masih kuatnya ego-sektoral, Dewan Nasional dan Dewan Kawasan dari KEK (seperti diatur dalam UU No 39 tahun 2009) diharapkan bisa menanganinya. Memulai awal pemerintahannya yang kedua, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menyatakan tekad menghilangkan sumbatan-sumbatan yang memacetkan pembangunan (debottlenecking).

Daud Sinjal

 

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain