Dalam pasar bebas dan terbuka di dunia, ASEAN punya banyak peluang bagus, baik ke dalam maupun pada ASEAN plus dan global. ASEAN punya sejarah panjang dan tradisi pasar rakyat lintas batas darat maupun laut. Skema kerjasama ekonomi subregional terbesar dunia ada di sini, yakni BIMP-EAGA (Brunei -Indonesia-Malaysia-the Philippines, East ASEAN Growth Area) yang merangkum Kesultanan Brunei, tiga negara bagian dari Malaysia Timur (Sabah, Sarawak, Wilayah Federal Labuan), seluruh provinsi di Mindanao dan Palawan (Filipina), 14 provinsi RI di Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Kini terjalin pula dalam free trade agreement dengan China (ASEAN-China Free Trade Agreement) dan dengan India, Australia, Selandia Baru dan Korsel, serta nantinya dengan Uni Eropa. Perjanjian perdagangan secara bilateral antara Amerika Serikat dengan ASEAN sudah dijalin pula. Semuanya akan menuju satu pasar bersama global yang berciri utama tarif kepabeanan nol persen.
Namun kedengarannya, Indonesia - negeri ASEAN terbesar dari ukuran wilayah, sumber daya alam dan manusia - yang paling tidak siap memanfaatkan peluang ini. Sejak pemberlakuan AFTA 2003, para pelaku bisnis Indonesia minta penundaan, malah proteksi. Terakhir, 10 sektor manufaktur dalam negeri melayangkan surat resmi ke Komisi VI-DPR menolak rencana implementasi ACFTA 1 Januari 2010. Ke-10 sektor itu adalah industri besi dan baja, petrokimia, benang dan kain, hortikultura, makanan minuman, alas kaki, elektronik, kabel, serat sintetis, dan mainan. Departemen Perindustrian lalu minta penundaan atas 146 pos tarif sampai tahun 2012, dan 82 pos tarif sampai 2018.
Indonesia yang belum pernah siap bersaing sepertinya meneruskan kebiasaan zaman VOC dan cultuurstelsel Hindia Belanda. Yakni mengekspor bahan mentah atau mengembangkan pertanian dan perkebunan yang hasilnya diekspor hanya sebagai produk primer. Kita membiarkan diri terlena dengan kebiasaan quick yielding, langsung mendapatkan pemasukan dari: minyak mentah dan berbagai bahan galian mineral lainnya, kayu gelondongan, minyak sawit, karet, kakao, teh, kopi, kopra, rumput laut. Tanpa mengejar nilai tambah apabila bahan-bahan itu diolah menjadi berbagai produk barang jadi, siap pakai, siap santap, lebih bermutu, lebih tahan simpan.
Negara-negara lain yang justru melayani dan memanjakan masyarakat pembeli di Indonesia dengan barang-barang jadi yang lebih praktis, nyaman, nikmat, yang kemasannya saja sudah merupakan gimmick tersendiri. Ironis memang. Kita menyatakan akan membangun industri berbasis pertanian, justru mengimpor begitu banyak barang jadi yang mentahnya berasal dari hasil bumi kita. Berpuluh produk derivatif bisa dihasilkan dari berbagai hasil pertanian dan perkebunan kita. Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi, mengatakan pula, ACFTA akan menguntungkan Indonesia berkat hasil perkebunan, seperti kelapa sawit, karet, kopi, kakao, dan teh. Neraca perdagangan produk pertanian Indonesia dengan ASEAN plus China, surplus US$2,2 miliar. Hanya hortikultura yang neracanya semakin rendah. Namun, kata Bayu, itu bukan karena perdagangan, melainkan akibat selera konsumen kita yang tidak mau mengonsumsi buah-buahan sendiri secara terus-menerus.
Untuk membuat pertanian dan perkebunan kita tetap berkuasa di pasar domestik, tidak cukup dengan membenahi sarana, prasarana, menerbitkan berbagai regulasi, menerapkan SNI bagi barang impor, fasilitas kredit, pajak ditanggung pemerintah, proteksi dengan ketentuan food safety, food sanitary, dan lain-lain. Melainkan dengan membangkitkan secara radikal para pelaku agribisnis, pejabat publik, penyelenggara negara untuk bersikap melayani dan memanjakan konsumen bangsanya sendiri. Jiwa dan semangat untuk melayani lebih baik merupakan modal paling penting dalam mempromosikan produk hasil bumi sendiri, membesarkannya dengan nilai tambah berlipat ganda. Kesadaran bersama harus dibangkitkan untuk menjajakan produk-produk “made in Indonesia” yang disukai dan dibanggakan. Karena mutunya baik, mudah didapat, lebih murah, nyaman, nikmat, beraneka pilihan aroma dan rasa, tahan lama. Berbekal produk manufaktur yang baik, dengan penuh percaya diri dan berani bersaing, kita memasuki pasar intra-ASEAN, subregional ASEAN, ASEAN Plus, dan dunia.
Daud Sinjal