Senin, 21 Desember 2009

Tela Tela, Mengangkat Martabat Singkong Setara Keju

Ingat Lagu Singkong dan Keju yang populer pada era 1980-an? Lirik lagu tersebut bercerita tentang gaya hidup anak singkong yang tidak sepadan dengan si anak keju. Keduanya tak mungkin bersatu.

Itulah potret gengsi kedua makanan tersebut yang terpisah dalam kasta tinggi dan rendah. Namun, di tangan empat pemuda: Eko Yulianto, SE, Fath Aulia Muhammad, ST, MM, Ashari Tamimi, SE, dan Febri Triyanto, SSi yang membentuk CV EFFA Indoboga, kedua jenis makanan itu dipersatukan dalam Tela Twillie.

Twillie adalah semacam olahan ketela goreng berbumbu atau combro mini seukuran kelereng berisi keju, cokelat, dan daging sapi. Inilah varian produk terbaru Tela Tela, menyusul Stick Tela Tela Fried Cassava yang lebih dulu membawa sukses besar bagi waralaba Tela Tela milik CV EFFA Indoboga.

Selain twillie, produk inovasi lainnya adalah Nugget Tela. Produk ini merupakan olahan ketela (singkong) dengan bumbu rempah asli Indonesia berbalut bumbu krispi. Twillie sendiri dijual seharga Rp4.000 per 10 butir dan nugget Rp4.000 per 3 buah.

Inilah siasat keempat sekawan itu dalam mempertahankan dan mengembangkan jaringan waralaba mereka. “Selalu membuat inovasi,” ucap Eko Yulianto kepada AGRINA. Mereka sadar betul, inovasi adalah sebuah keniscayaan. Pasalnya, setahun setelah Tela Tela beroperasi pada September 2005 dan meraih sukses, sekitar 20 merek produk serupa pun latah menjamur di Kota Gudeg. Namun, merek-merek tersebut lantas bertumbangan dalam waktu singkat.

1.650 outlet

Hingga November 2009 sudah 1.650 gerai waralaba dan 182 master franchise atau agen yang teraplikasi di Tela Tela. Penyebarannya mencapai 182 kota, dari Aceh sampai Papua. “Tetapi yang aktif hanya sekitar 80% saja. Yang lain karena kontrak sudah habis atau latah saja sehingga tidak sungguh-sungguh usahanya,” terang Eko.

Keberlanjutan sistem waralaba bergantung pada keuntungan si pemilik gerai. Jika untung, usaha pastilah berlanjut. Karena itu, dibuatlah produk-produk inovatif sebagai pendukung agar pendapatan mitra terjaga.

Mereka mengakui, omzet penjualan stick tela dapat saja kecil karena konsumen di suatu wilayah tidak terbiasa dengan olahan ketela, seperti di Jakarta. Pengalaman di Yogya juga menunjukkan, apabila musim liburan datang, penjualan menurun 30%—-40%. Pasalnya, hampir separuh pasar mereka adalah mahasiswa.

Tela Tela lalu menambah produk kentang goreng untuk menggaet konsumen yang berbeda. “Secara keseluruhan penjualan stick tela 60% dan stick kentang saat ini 40%,” ungkap Eko, alumnus Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta ini.

Masih belum cukup, imbuh Febri, Stick Tela pun dibuat dalam bermacam rasa. Mula-mula empat rasa, kini menjadi 12 pilihan: rasa ayam, kebab, jagung pedas, jagung bakar, pepperoni, pizza, pedas manis, pedas asin, super pedas, lado-lado, rujak, dan campur. Bentuk gerobak gerai juga mengalami perubahan desain sampai lima kali. Mereka juga membuat kuis berhadiah, merchandise, seperti kaos, dan bahkan lagu jingle untuk menjaring pelanggan.

Total penjualan omzet saat ini mencapai 400 ribu—600 ribu paket bungkus per bulan. Kalau dihitung dengan harga terendah Rp3.000 per bungkus, omzet mereka paling tidak Rp1,8 miliar per bulan.

Atas prestasi besar tersebut, mereka mendapatkan anugerah Best Enterpreneur Moslems of The Year pada 2007, The Indonesian Small&Medium Business Enterpreneur Award 2008 dari Majalah Wirausaha dan Keuangan, serta Djie Sam Soe Award kategori Wirausaha Muda Terbaik 2009.

Awal Karir

Bisnis ini terbentuk berdasarkan pertemanan. Eko, Fath, dan Ashari adalah aktivis senat mahasiswa UPN. Sedangkan Febri adalah adik Eko Yulianto yang belajar di Jurusan Fisika, Universitas Negeri Yogyakarta. Layaknya kebanyakan aktivis, IPK mereka pas-pasan saja, 2,6—2,8. Mereka sadar dengan IPK mepet seperti itu, tak ada jalan lain menuju sukses kecuali berwirausaha. Mulailah mereka dengan kelebihan masing-masing bersinergi membangun bisnis melalui singkong.

Inspirasi bahwa ketela dapat dijual secara lebih “bermartabat” berasal dari adanya gerai singkong keju di timur bunderan kampus UGM. “Hanya saja ukurannya terlalu besar sehingga waktu makan harus dipotong-potong lagi,” papar Febri. Karena itu mereka membuat yang lebih praktis, seukuran kentang goreng. Alasan lainnya, harga bahan baku singkong relatif stabil sehingga mudah mengatur manajemen usaha.

Mereka menyajikan produk dengan berseragam dan celemek. Dengan penampilan yang berbeda itu, para mahasiswa tidak enggan datang. Dan yang pasti, produk mereka murah karena bahan bakunya juga murah. “Waktu itu hanya Rp1.500 per bungkus,” kenang lajang 27 tahun itu seraya menambahkan, membidik pasar mahasiswa karena kritis sehingga akan tertantang terus untuk berinovasi.

Cerahnya prospek bisnis mereka terbaca ketika mengikuti pameran selama lima hari di Universitas Atmajaya Yogyakarta pada Desember 2005. Waktu itu mereka menghabiskan satu kuintal ketela per hari. “Mahasiswa ngantri dan mulai ada yang tertarik untuk bekerjasama,” lanjutnya.

Saat itulah terbetik membuat Tela Tela menjadi bisnis waralaba, model microfranchise sehingga untuk bermitra, para peminat tidak mengeluarkan biaya investasi yang besar. Mitra hanya membayar Rp7 juta dengan masa kerjasama dua tahun. Investasi ini meliputi joining fee sebesar Rp1 juta, gerai Rp2,5 juta, cooking set Rp1,7 juta, training Rp1 juta, dan sisanya promosi. Selanjutnya mereka dikenakan royalty fee dari omzet sebesar 6%. “Jika mereka bisa menjual 50 paket seharga Rp3.500 per paket per hari, maka dalam empat bulan sudah balik modal,” hitung Febri.  

Kondisi Kota Yogya yang plural dengan banyaknya mahasiswa dari berbagai daerah membawa keuntungan tersendiri. Para mahasiswa itu meminta para kerabatnya di daerah bergabung ke jaringan waralaba ini. Tak pelak waralaba Tela Tela pun segera menyebar ke seluruh Indonesia, termasuk Ternate, Jayapura, Kolaka, Sorong, Manokwari, dan Nunukan.

Berdampak Luas

Pemenuhan kebutuhan singkong di daerah dipercayakan kepada agen (master franchise) setempat. Tela Tela membeli singkong dari petani Rp1.000— Rp1.200 per kg, atau Rp400 lebih tinggi dari harga pasaran. Hal itu tentu saja membuat petani bergairah menanam singkong dan pasokan bahan baku terjamin.

Tidak sembarang singkong bisa digunakan. “Hanya singkong ketan, meni (manihot), sukun, dan gatotkaca. Harus segar, tidak ganyong (berwarna bening dan liat), dan tidak manis. Kalau sore dicabut, shubuh kita kupas,” terang Eko. Dari satu kilo singkong, sekitar 65% yang dapat dimanfaatkan. Sisanya untuk pakan ternak.

Selain berdampak positif terhadap petani, usaha ini menyerap ribuan karyawan. Total sekitar 3.100 orang selamat dari pengangguran berkat ide kreatif si empat anak singkong yang kini tengah membangun waralaba baru, Mr Piss, untuk produk pisang goreng tersebut.

Faiz Faza (Yogyakarta)

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain