Dalam masa transisi penerapan kebijakan, diperkirakan peternak rugi Rp2,63 triliun. Modal sosial juga bisa hancur. Perlu jalan keluar bagi penyedia jasa pemotong ayam.
Mulai 24 April 2010, berdasarkan Perda No. 4 Tahun 2007 dan Pergub No. 15 Tahun 2007, pemukiman di Jakarta bebas unggas hidup. Akibatnya, Tempat Penampungan Ayam (TPnA) dan Tempat Pemotongan Ayam (TPA) harus pindah ke lokasi yang telah ditentukan. Ayam hidup masih bisa masuk ke Jakarta, tetapi di lokasi tertentu. Hal ini merupakan kebijakan mengontrol penyebaran virus flu burung di ibukota.
Selama ini di Jakarta terdapat sekitar 1.153 tempat pemotongan ayam yang tersebar di berbagai lokasi dengan kapasitas masing-masing 20—500 ekor per hari. Dari kebutuhan ibukota yang sekitar 600 ribu ekor per hari, kurang lebih 400 ribu ekor berupa ayam hidup dan 200 ribu ekor berupa karkas (ayam potong tanpa kepala, jeroan, dan kaki). Para pemotong itulah yang selama ini berjasa memotong sekitar 400 ribu ekor ayam hidup itu.
Namun dengan kebijakan Pemda DKI, ayam hidup yang boleh masuk ke Jakarta sekitar 200 ribu ekor per hari dan sisanya (400 ribu ekor) dalam bentuk karkas. Dan ayam hidup itu hanya boleh ditampung di lokasi yang telah ditetapkan: Cakung, Pulogadung, Rawakepiting, Petukangan Utara, dan PT Kartika Eka Darma (di Srengseng, Jakarta Barat). Di kelima lokasi ini, kapasitas TPnA sekitar 546 ribu ekor dan TPA 300.800 ekor.
Masih Suka yang Segar
Persoalannya, apakah penerapan kebijakan itu bisa berjalan mulus? Untuk menjawab hal itu, tim Siti Adiprigandari, Ph.D, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia melakukan observasi, wawancara, dan diskusi dengan para pelaku dan konsumen di lima PD Pasar Jaya: Cipete, Radio Dalam, Majestik, Blok A, dan Santa, 15— 26 Maret 2009. Permintaan ayam di kelima pasar itu sekitar 14.000 ekor per hari. Pada Natal dan Hari Raya Idul Fitri, permintaan bisa meningkat rata-rata 70%—80%.
Kalau dilihat dari preferensi konsumen, menurut Adiprigandari, pola pikir (mindset) sebagian besar konsumen di Indonesia lebih suka membeli ayam segar, yaitu ayam yang dipotong pada hari itu atau kurang dari 12 jam setelah dipotong. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka pemotongan ayam dilakukan di pasar-pasar tradisional, seperti Cipete, Radio Dalam, Mayestik, dan Blok A. “Si pembeli melihat ayam hidup, memilih, dan meminta dipotong di tempat. Konsumen melihat faktor segarnya,” kata Riga, sapaan akrabnya, kepada AGRINA.
Dengan pola pikir seperti itu, jangan heran kalau harga ayam potong tersebut semakin siang semakin murah. Pada saat penelitian, harga ayam pedaging (broiler) di kelima PD Pasar Jaya itu Rp15.000—Rp25.000 per ekor. Pada sekitar jam 14.00, harga ayam potong bisa turun sampai 40%. “Consumer behavior ini harus dipahami. Dan pasar (tradisional memahami) hal tersebut,” tambah Riga.
Untuk memenuhi perilaku konsumen tersebut, timbullah jasa pemotongan ayam di lokasi penjualan, dengan tarif Rp100—Rp200 per ekor. Umumnya mereka beroperasi dari pukul 01.00 dini hari sampai pukul 09.00. Omzet jasa pemotongan di keempat pasar tadi (di Santa tidak ada pemotongan, tapi mendapat pasokan dari empat pasar tadi) sekitar Rp1,4 juta—Rp2,8 juta per hari. Tentunya, para pemotong ini perlu ada jalan keluar, “Agar mereka tidak kehilangan pekerjaan,” kata Riga.
“Who care dengan mereka (para pemotong tadi),” tukas Hartono, Ketua Umum PINSAR, pada saat peluncuran buku Dinamika Daya Saing Industri Peternakan karya Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec., Direktur Manajemen Bisnis IPB, di ICC, Bogor, Selasa, 14 Desember 2009. “Mereka itu bisa dipindah ke lokasi baru tadi, kalau mereka mau. Pindah lokasi ‘kan tidak berarti modernisasi (dengan alat potong mesin),” imbuh Suparman Sastrodimedjo, Liasion Officer PT Charoen Pokphand Indonesia, pada acara yang sama.
Memang konsumen, menurut penelitian tersebut, lebih menyukai daging ayam segar karena menganggap daging segar itu lebih enak daripada daging beku. Dalam bahasa populer: lebih nendang. Karena itu, para pemangku kepentingan perlu mendidik konsumen bahwa daging segar dan beku itu sama saja rasanya. “Kita perlu mendidik konsumen. Di beberapa lokasi pasar tradisional, bisa kita tempatkan pedagang daging ayam beku sehingga konsumen bisa mengerti bahwa daging ayam segar dan beku itu sama saja rasanya,” lanjut Suparman.
Selain menjual ayam broiler (berumur 35 hari dengan bobot 1,2—1,6 kg per ekor), khusus di Mayestik dan Blok A, dipasarkan pula ayam kampung dengan kisaran harga Rp25.000—Rp100.000 per ekor. Memang dalam tiga tahun terakhir, menurut penelitian tersebut, permintaan terhadap ayam kampung cenderung meningkat, terutama di kalangan menengah ke atas. Hal ini karena meningkatnya keinginan mengonsumsi pangan organik dan mereka menganggap ayam kampung sebagai pangan organik. Padahal, itu belum tentu benar, tetapi itulah keinginan konsumen yang patut diantisipasi.
Selama ini, ayam yang masuk ke Jakarta umumnya dari Tasikmalaya, Sukabumi, Purwakarta, dan Bogor. Dan jumlah yang didatangkan dihitung sesuai permintaan yang masuk. Atau dalam bahasa ekonomi, dikenal dengan istilah demand side. Biasanya, antara pedagang di Jakarta dengan pemasok di keempat daerah tersebut sudah terjalin hubungan yang sangat kuat. Orang-orang ekonomi menyebutnya, modal sosial yang kuat.
Dengan kebijakan baru ini, matarantai yang sudah terbentuk dengan modal sosial yang kuat ini bisa rusak. “Kan mereka hancur,” kata Riga. Yang terjadi, imbuhnya, justru supply side (hanya memasok, tanpa memperhatikan jaringan permintaan). “Yang terjadi, you take it atau leave it,” lanjut Riga. Si pedagang dipersilakan datang ke tempat baru dan mengambil ayam potong untuk dipasarkan. Atau Pemda DKI Jakarta yang akan menyiapkan alat angkutnya untuk mengirimkan ayam beku ke pasar-pasar tradisional.
Hartono memperkirakan, dalam penerapan kebijakan baru ini terjadi transisi tiga bulan. Padahal, secara nasional ayam yang dipasarkan sekitar 125 juta ekor per bulan. Dalam masa itu terjadi penurunan harga ayam sekitar Rp7.000 per ekor, termasuk di Jakarta sebagai barometer pasar nasional sehingga selama tiga bulan total kerugian peternak Rp2,63 triliun atau sekitar 40% dari dana talangan Bank Century, yang Rp6,7 triliun. “Setelah itu akan terjadi keseimbangan baru,” tutur Hartono kepada AGRINA.
“Problem kebijakan di Indonesia itu top down. Bangun baru sama sekali, sedangkan yang ada ditutup,” terang Riga. Mengapa tidak tetap menggunakan pola tradisional (tempat pemotongan yang ada tetap ada), tapi memperbaiki faktor higienis dan sanitasinya? Apalagi di PD Pasar Jaya, yang merupakan milik Pemda DKI Jakarta? Memang kita suka membuat kebijakan, tapi, “Belum dipikirkan sistem insentifnya, bagaimana implementasinya,” komentar Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Pertanian, pada peluncuran buku peternakan karya Arief Daryanto tersebut.
Syatrya Utama