Sumur pantek dapat mencegah masuknya ikan liar dan mengamankan tambak dari penularan penyakit yang menginfeksi tambak di sekitarnya.
Manfaat sumur pantek dirasakan Ngadiman, Ketua Kelompok Pembudidaya Ikan Windu Mukti dan 15 orang anggotanya sejak sekitar empat tahun lalu. Kelompok yang berada di Desa Karanganyar, Purwodadi, Purworejo, Jateng, ini membudidayakan udang windu dengan sistem tradisional dan tradisional plus (dua kincir per 2.000 m2). Setelah udang windu redup karena dirubung penyakit, mereka beralih ke udang Vanname.
Awalnya, mereka memanfaatkan luapan air payau di muara Sungai Bogowonto saat laut selatan pasang untuk mengisi tambak. Namun hal itu membawa konsekuensi masuknya ikan liar, seperti mujair, muntreng (sebangsa ikan gabus kecil), dan keting (sebangsa catfish) yang merugikan karena menyerobot pakan dan menjadi predator udang. “Panen vanname bisa hanya 50%, lainnya ikan liar,” terang Jumikan, staf Unit Kerja Budidaya Air Payau Congot milik Dinas Perikanan dan Kelautan DIY yang tambaknya bertetangga dengan kolam Kelompok Windu Mukti.
Karena itu, menurut Jumikan, didatangkan ahli perikanan dari Taiwan untuk memecahkan masalah tersebut. Ahli perikanan ini menyarankan membuat sumur pantek sebagai sumber air tambak.
Menguntungkan
Hasil hitungan Ngadiman, sumur pantek ini sangat menguntungkan petambak. Dari tambak seluas 2.000 m2 yang ditebar 25 ekor per m2 dengan kedalaman air 50 cm, ia mampu memanen 6,25 kuintal. “SR (tingkat kelangsungan hidup) dapat dikatakan 99% dengan FCR 1 (satu kilo pakan menjadi satu kilo udang,” ungkapnya bangga. Padahal, sebelum menggunakan sumur ini ia hanya memungut 3—4 kuintal udang saja dengan tingkat SR 40%—50% dan FCR dua kali lipat.
Nilai kenaikan jumlah panen sekitar 2,5 kuintal ini jauh lebih besar dibandingkan tambahan ongkos produksi karena penambahan solar dan investasi pengeboran sumur. Untuk memenuhi tambak dibutuhkan 30 liter solar guna memompa air dari sumur dengan kedalaman 16 m atau senilai Rp135 ribu. Jika ditambah biaya pembuatan sumur sebesar Rp2 juta, maka tambahan biaya produksi hanya Rp2,135 juta. Sedangkan dengan harga jual udang Rp35.000 per kg, tambahan produksi tersebut menghasilkan pendapatan Rp8,75 juta. Masih ada keuntungan di atas Rp5 juta per panen.
Keuntungan lainnya, apabila suatu tambak terkena penyakit dan limbahnya dibuang ke sungai, maka tambak dengan sumur pantek tidak terlalu khawatir tertular melalui aliran air karena sumber airnya berbeda.
Setelah menggunakan sumur pantek, Ngadiman berani memasang dua unit kincir per 2.000 m2 dari 5.000 m2 tambaknya. Padat tebarnya pun ditingkatkan menjadi 50 ekor per m2. Tujuannya tak lain agar keuntungannya semakin berlipat.
Tidak Semua Tempat
Sayangnya, pembuatan sumur dengan pipa berdiameter 6 inci ini tidak bisa dilakukan di semua tempat meskipun jaraknya hanya terpaut beberapa meter saja. Pantai selatan yang mengandung unsur besi (Fe) tinggi menjadi faktor pembatas. “Jika Fe-nya tinggi, ikan seperti kena bercak berjamur dan kemudian mati,” terang Jumikan. Karena itu, tambak milik kantornya yang hanya terpaut 200 m dari sumur Ngadiman tidak menggunakan sumur pantek. Tiga buah sumur berkedalaman 10 m yang sudah telanjur dibuat dibiarkan mangkrak.
Jumikan memilih menyedot air muara setelah laut surut. Harapannya, “Bibit penyakit telah terserap ke laut.” Ia harus menghadapi risiko masuknya telur-telur predator atau ikan liar ke tambaknya yang seluas 6.000 m2 tersebut.
Sayangnya, baik Jumikan maupun Ngadiman belum mengetahui seberapa besar kandungan maksimal Fe dalam air yang bisa ditoleransi udang. Pun Prof. Kamiso HN, Guru Besar Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan UGM, belum dapat memberi jawaban saat dikonfirmasi. Selama ini mereka hanya mengandalkan pengamatan. Kalau selama 24 jam air tetap jernih, tidak berwarna kuning, dan muncul endapan kerak besi, mereka siap menebar benih. Sebaliknya jika muncul penanda tersebut, tambak harus dikeringkan kembali dan mencari sumur yang lain sebagai sumber air. “Air saya buang lagi,” tegas Ngadiman yang memiliki tiga sumur.
Keberadaan Fe memang belum bisa ditentukan dengan pasti. “Kadang pada kedalaman 16 m masih ada Fe, tetapi ada yang 8 m saja Fe-nya sudah tidak ada. Selain kedalaman, Fe juga tergantung cuaca dan musim,” urai Ngadiman. Saat musim hujan, konsentrasi Fe akan turun dan demikian juga sebaliknya di musim kemarau. Yang dibutuhkan saat ini oleh petambak adalah piranti pengukur kadar Fe. Sayangnya, Unit Kerja Budidaya Air Payau Congot saja tidak memiliki peranti tersebut.
Faiz Faza (Yogyakarta)