Peluang mengekspor nila Indonesia semakin terbuka dengan dirilisnya dua strain baru oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad.
Saat ini Indonesia termasuk pengekspor nila kedua terbesar setelah China dengan peningkatan produksi rata-rata 27% per tahun. Tahun lalu volume produksi Indonesia baru sebanyak 220,9 ribu ton, sementara China sekitar 1,2 juta ton. Meski begitu Fadel Muhammad mencanangkan cita-cita tinggi, menggeser posisi Negara Tirai Bambu ini. “Pada 2014 kita menargetkan produksi nila sebesar 1,25 juta ton,” tegas mantan Gubernur Gorontalo ini.
Untuk dapat menggantikan China, lanjut Fadel, banyak upaya yang harus dilakukan, di antaranya adalah perakitan jenis-jenis nila unggul tahan penyakit, berkembang cepat dan efisien dalam pemanfaatan pakan. Selama ini di Indonesia telah berkembang nila unggul, yakni strain GIFT, GET, JICA, Nirwana, dan GESIT. Namun nila-nila ini terbilang masih cukup lama untuk mencapai bobot layak ekspor. Karena itu rilis strain Bogor Enhanced Strain Tilapia (BEST) dan Larasati oleh Fadel 23 November lalu memberi harapan baru.
Rilis kedua varietas tersebut mengambil tempat di Perbenihan Budidaya Ikan Air Tawar (PBIAT) Janti, Polanharjo, Klaten, Jateng. Dalam kesempatan ini, menteri juga menyerahkan bantuan berupa 8 ekor induk nila BEST dan 5.000 ekor benih Larasati dari DKP kepada Bupati Klaten, Banjarnegara, Temanggung, dan Brebes.
Keunggulan
Nila BEST ditetapkan sebagai jenis unggul induk ikan nila melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 77/Men/2009 dan Larasati ditetapkan sebagai benih bermutu melalui Kepmen 79/Men/2009.
BEST merupakan pengembangan generasi ke-6 nila GIFT hasil evaluasi Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT) Bogor selama 2004—2008. Sedangkan Larasati adalah hasil rekayasa tim perakit dan pemulia ikan PBIAT Janti dengan bimbingan Prof. Dr. Komar Sumandinata (Guru Besar IPB), Prof. Dr. Rustidja (Guru Besar Universitas Brawijaya) dan Dr. Atmadja Hardjamulja dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP).
Menyingkap keunggulan nila baru itu, Ketut Sugama, Direktur Perbenihan, Ditjen Perikanan Budididaya menyatakan, “Pertumbuhannya 15%—20% lebih cepat, lebih tahan Streptococcus, dan warnanya merah. Preferensi masyarakat ‘kan lebih suka warna yang merah cerah.”
Secara fisik, nila BEST masih serupa GIFT tapi secara genetik telah mengalami perbaikan sehingga pertumbuhan dan daya tahannya terhadap lingkungan buruk serta penyakit lebih baik ketimbang pendahulunya dan strain lain yang telah ada. Secara spesifik, BEST memiliki ketahanan 140% lebih baik terhadap bakteri Streptococcus dibandingkan nila jenis lain.
Selain itu BEST juga memproduksi anakan 3—5 kali lipat lebih banyak daripada nila lain. Konversi pakannya pun hanya 1,1 atau 1,5—2 kali lebih baik. Benih strain ini dapat mencapai ukuran 2—3 cm hanya dalam 8—10 hari atau lebih cepat 4—6 hari dari jenis nila yang lain. Dalam produksi benih, kelangsungan hidupnya sekitar 85% dengan derajat penetasan hingga 90%.
Performa pembesaran BEST juga mengesankan. Benih berukuran 40 gr per ekor dapat mencapai bobot 300—500 gr dalam waktu 4 bulan. Kelangsungan hidupnya berkisar 84,4%—93,3% atau 8% lebih tinggi dari jenis nila yang lain.
Larasati tak kalah hebat. Persentase dagingnya mendekati 50%, lebih tinggi ketimbang nila lain yang sekitar 35%. Sama seperti BEST, nila ini juga tumbuh cepat, dan lebih tahan penyakit. Berdasarkan ujicoba yang dilakukan dalam keramba jaring apung (KJA) di Kedung Ombo, Jateng, bobot satu kilo tercapai pada umur 6—7 bulan. Sementara nila jenis lainnya membutuhkan waktu 10 bulan untuk sampai bobot yang sama.
Secara fisik kepala Larasati jauh lebih kecil daripada badannya sehingga porsi dagingnya lebih banyak. “Jadi, nila ini sangat layak untuk dijadikan komoditas ekspor. Ekspor nila ‘kan terutama dagingnya. Kalau tidak besar ya tidak laku. Berat daging kotor untuk ekspor dulu 500 gr (per ekor) sekarang harus di atas 800 gr supaya bisa mendapat daging yang besar,” tutur Iskandar Ismanadji, Direktur Budidaya, Ditjen Perikanan Budidaya DKP.
Produksi Benih
Untuk menjaga kualitas dan sertifikasi benih yang jelas, benih kedua strain baru tersebut hanya boleh dilakukan balai benih terpilih. “Harapannya, pembudidaya hanya menggunakan benih-benih yang bersertifikat sehingga tidak ada lagi keluhan kuntet (ikan tidak tumbuh besar),” tegasnya.
Sebagaimana benih ikan yang lain, benih nila juga mendapatkan subsidi sebesar 30%—50% dari harga pasar. Pada 2009 Jateng memperoleh subsidi Rp3,8 miliar dari total subsidi benih nasional Rp60 miliar. “Subsidi tahun 2010 sedang kita usahakan,” ujar Ketut.
Pada kesempatan rilis tersebut, Gubernur Jateng Bibit Waluyo menyatakan, akan mengembangkan strain nila unggul baru tersebut di sungai-sungai. Tujuannya agar masyarakat mudah memperolehnya untuk memenuhi kebutuhan protein bagi tubuh mereka.
Marwan Azis, Faiz Faza (Yogyakarta)