Konsep bertani di kota sekaligus berwisata ternyata bisa diterapkan di Surabaya. Sejak Februari silam, masyarakat mulai dapat memetik hasilnya.
Sebagai kota terbesar kedua setelah Jakarta, wilayah Surabaya pun dipenuhi gedung-gedung pencakar langit dan perumahan. Lahan pertaniannya tinggal 1.200 ha. Sedangkan lahan pekarangan masih cukup luas, 13.000 ha.
Namun, sempitnya lahan tidak menjadikan penghalang bagi masyarakat untuk tidak bercocok tanam. Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya membuat terobosan untuk memanfaatkan pekarangan dengan konsep urban farming (pertanian perkotaan). Percontohannya ada di Kelurahan Made, Kec. Sambikerep, yang memang punya sejarah sebagai daerah pertanian. Yang dibudidayakan tidak hanya tanaman hias, tapi juga sayur-mayur, kacang-kacangan, umbi-umbian, dan buah-buahan.
Tumpang Sari
Menurut Hadi Prayitno dari Kelompok Tani Made Mandiri, awal 1996 mereka mendatangkan petani dari Malang untuk mengajarkan teknik bercocok tanam lebih maju. Mereka lalu memanfaatkan ajir dan mulsa plastik penutup tanah pada pertanaman cabai. Hasilnya, panen cabai pun meningkat sehingga Pemkot memfasilitasi para warga Made. Timbullah konsep urban farming dari pemkot.
Pemkot juga membantu warga kota lain yang tidak punya lahan dengan polibag, benih untuk bertanam di depan-depan rumah dan memanfaatkan lahan-lahan kosong secara organik. Selain monokultur cabai, banyak juga yang menerapkan tumpang sari cabai dan sayuran.
”Tumpang sarinya sampai dua kali, yaitu pare welut (pare hijau besar), timun, gambas, kacang panjang. Lalu tanaman tahap kedua bisa tumpang sari lagi dengan jagung. Jadi cabainya habis, tanaman susulannya mulai panen. Selama 6 bulan panen tidak ada putusnya,” imbuh Hadi.
Hasil Tidak Kalah
Sampai sekarang ada 6 kelompok tani yang beranggota 520 orang. Luas lahannya 134 ha khusus cabai, padi 90 ha, dan jagung 20 ha. Omzetnya 30—40 ton per hari. ”Orang kota tidak percaya setelah melihat panen raya Januari-Februari-Maret. Konsep urban farming pemkot itu hanya untuk mengenalkan petani Made agar dicontoh,”ujar Karnoto dari Kelompok Tani Made Mandiri.
Hasil panen pertanian Made sudah merambah luar kota, di antaranya Bandung, Jakarta, bahkan Sumatera. Produknya meliputi pare, gambas, kacang panjang, sawi, bayam, terong, kangkung, cabai, timun, tanaman hias serta hasil perikanan seperti lele, belut dan nila. Belum lagi produk pupuk organik yang dihasilkan mulai kompos, bokashi hingga pupuk organik cair dari urin kelinci.
”Omzet kita bisa mencapai Rp10 miliar untuk satu musim jika harga cabai di atas Rp5.000. Biaya produksi sekitar Rp40 juta, maksimal hingga Rp100 juta. Ongkos produksi perpohon Rp1.500—Rp2.250. Keuntungan bersih Rp80—Rp100 juta per orang. Hingga PT ABC mau kerjasama dengan kita selain produsen benih seperti East West Seed,” jelas Joko Sutaman, anggota kelompok yang bertugas di bagian pemasaran.
Ke depan urban farming akan dikembangkan sebagai pasar wisata. ”Kita buat pasar sendiri di Made untuk menjual hasil petani, seperti sayur-mayur, waluh putih, sawi, bayam, kangkung, gambas, pare welut, pare kodok, terong, timun, tomat, cabai, tomat, manisan tomat, juga jajan pasar. Kita buat pasar agar orang-orang yang membawa uang ke sini datang metik sendiri,” ungkap Hadi.
Indah Retno Palupi (Surabaya)