Rabu, 25 Nopember 2009

KUPS Terhadang Agunan

Skema kredit yang digadang-gadang akan meningkatkan populasi ini ternyata pengucurannya mulai terkendala oleh agunan.

Niat pemerintah membangun industri perbibitan sapi kini mulai terkendala aturan umum perbankan. Program Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) dengan anggaran Rp145 miliar melalui mekanisme subsidi bunga kredit sebesar 5% per tahun ini diharapkan dapat diakses pelaku usaha pembibitan sapi. Sayang, realisasinya masih terhambat keharusan menyediakan agunan.

Sapi Hidup Siap Dijaminkan

Hal tersebut diungkap Ir. Yusup Munawar, Manajer Usaha Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), Jabar. “Ketentuan agunan tersebut sangat memberatkan pelaku usaha koperasi susu. Jika tetap ada agunan artinya pelaksanaan KUPS sama saja dengan kredit umum yang biasanya dikucurkan bank selama ini,” tegasnya

Karena itu Yusup mengusulkan kelonggaran khusus bagi pelaku usaha dalam mengakses KUPS. Kalau pun tetap harus ada agunan, bisa berupa sapi-sapi hidup yang telah dipelihara atau yang ada di perkandangan. “Usul kami tersebut sudah kami ajukan kepada pemerintah dan bank pelaksana, tapi masih belum ada jawaban. Padahal, kami berharap, usaha sapi perah yang akan dimodali melalui KUPS lebih mewujudkan untuk proses pengembangan, bukan bagi usaha awal,” kata Yusup.

Bank-bank pelaksana KUPS memang masih belum bisa meluluskan usulan tersebut. Ketika ditanya AGRINA, salah satu pejabat bank pelaksana yang keberatan disebut namanya mengatakan, pihak perbankan tidak bisa menerima agunan berupa sapi hidup karena mudah dipindahkan dan juga ada risiko kesehatannya.

Peluang Pasar Bibit

Tanpa perubahan aturan agunan tersebut, pelaku usaha akan sangat sulit mengakses KUPS yang bunganya memang sangat meringankan. “KUPS yang menawarkan bunga rendah akan menjadi sia-sia karena tidak terakses atau tersalurkan akibat masih mengikuti ketentuan umum,” komentar Ramdan Sobahi, Sekretaris Koperasi Susu Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Bandung.

Ramdan menjelaskan, dalam usaha sapi perah, koperasi merupakan plasma yang terdiri dari peternak anggota koperasi. Hal ini berbeda dengan mekanisme pola kemitraan pada usaha sapi potong. Saat ini jumlah sapi perah milik peternak yang menjadi anggota GKSI mencapai 110 ribu ekor. Jika 50% dari jumlah tersebut dijadikan agunan, maka mencapai 50.000 ekor, dan ini cukup besar.  “Kalau peternak mendapatkan suntikan modal KUPS, kami optimistis bisa memecahkan persoalan bibit yang selama ini dialami peternak,” timpal Yusup.

Menurut Ramdan, harga induk sapi perah unggul untuk pembibitan mencapai Rp20 juta—Rp22 juta per ekor, dan ini cukup berat bagi peternak. Untuk mengatasi persoalan bibit sapi ini, peternak hanya mengandalkan induk sapi dari wilayah lain. Kondisi ini menyebabkan populasi sapi perah selama 10 tahun terakhir stagnan.

Pasar bibit sapi perah sangat terbuka. Permasalahan terbesar adalah tidak adanya pelaku usaha yang mau membesarkan sapi lepas kolostrum (sapih) sampai menjadi induk. “Diharapkan pengucuran KUPS dapat mempertimbangkan hal ini. Pemilihan koperasi primer dalam mengakses KUPS ini memang harus sangat selektif dengan kriteria bankable, namun tidak memberatkan peternak,” harap Yusup.

Menanggapi itu, Gunawan, Direktur Perbibitan, Ditjen Peternakan, Deptan mengatakan, agunan yang diminta perbankan memang terdiri dari agunan pokok kredit, yakni aset berupa tanah, bangunan, dan aset lainnya, serta agunan tambahan, yaitu berupa avalis mitra usaha sampai kredit lunas. ”Jaminan berupa sapi-sapi hidup yang dimiliki peternak, memang belum diperkenankan oleh perbankan saat ini. Ke depannya bisa saja itu dilakukan,” ucapnya melalui telepon.

Yan Suhendar

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain