Maggot sebagai alternatif bahan pengganti tepung ikan mulai diproduksi massal.
Dunia akuakultur dalam 15 tahun terakhir menapaki produksi yang kian meningkat. Mengutip data FAO, produksi akuakultur naik dari 13 juta ton menjadi 36 juta ton. Hal tersebut tak lepas dari makin tingginya populasi penduduk dan juga sejalan dengan pemenuhan kebutuhan protein hewani.
Percepatan tersebut mempengaruhi kebutuhan tepung ikan sebagai bahan baku utama pakan ikan. Namun sayang, produksi tepung ikan malah stagnan sejak 1990-an. Kondisi ini makin mendongkrak harga tepung ikan dan kian mempersulit posisi Indonesia karena sangat mengandalkan pasokan tepung ikan impor.
Achmad Poernomo, Sekretaris Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP), menyebut, impor produk perikanan setiap tahun mencapai US$300 juta. Dari data tersebut setengahnya berasal dari pembelian tepung ikan.
Pengganti
Menurut Poernomo, ada dua hal yang menghalangi Indonesia memproduksi sendiri tepung ikan. Pertama, wilayah nusantara berada di perairan tropis. Sifat perairan tropis adalah jenis ikannya beragam, tetapi populasi tiap jenisnya sedikit. Sedangkan tepung ikan hanya dibuat dari satu jenis ikan. Kedua, tepung ikan wajib diproduksi dari jenis ikan berkualitas baik. Padahal tingkat konsumsi ikan penduduk Indonesia terbilang rendah, “Sehingga terjadilah persaingan kebutuhan konsumsi dengan manusia,” bebernya.
Beberapa penelitian dilakukan untuk menemukan pengganti tepung ikan. Misalnya penggunaan tepung keong, bulu ayam, kedelai, dan bungkil kelapa sawit. Namun pada tahap aplikasi, pemanfaatan bahan–bahan tersebut terbentur oleh ketersediaan pasokan yang minim.
Begitu juga dilakukan Loka Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar (LRBIHAT), Depok, Jabar. Disokong penuh oleh Institut de Recherche pour le Developpment (IRD), sebuah lembaga riset dari Perancis mengembangkan budidaya maggot atau black soldier alias serdadu hitam. I Wayan Subamia, Kepala LRBIHT, mengklaim, pihaknya kini telah mampu memproduksi maggot, sekitar 250 kg per hari.
Gellwynn Daniel Hamzah Jusuf, Kepala BRKP, menambahkan, maggot juga sudah dikembangkan di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Menggandeng perusahaan kelapa sawit, penduduk sekitar membudidayakan maggot dengan memanfaatkan bungkil sawit sebagai media.
Dengan pasokan bungkil sawit sekitar 50 kg per hari, masyarakat Jambi bisa memproduksi sekitar 15 ton maggot per hari. Sistem budidayanya cukup sederhana dengan pemanfaatan tong-tong bekas sebagai wadah berkembangbiak maggot.
Lebih jauh Gellwynn mengharap maggot dapat menjawab permasalahan pasokan tepung ikan. Alhasil, harga pakan menjadi murah dan mudah didapat, tak menimbulkan pencemaran, dan meningkatkan daya tahan tubuh ikan “Kami yakin maggot bisa menjadi alternatif tepung ikan yang makin mahal di pasar dunia. Mudah–mudahan banyak pihak tertarik untuk inventasi sehingga kita bisa menekan impor tepung ikan,” harapnya.
Larva
Maggot adalah larva serangga Hermetia illucens atau black soldier yang mengalami metamorfosis. Maggot berada pada fase kedua setelah fase telur dan sebelum fase pupa yang kemudian berubah menjadi lalat dewasa.
Bungkil sawit terbilang media berkembangbiak Hermetia terbaik lantaran limbah ini mudah diperoleh. Bungkil ini mengandung protein sebesar 18%. Protein tersebut tidak bisa langsung diserap ikan. Justru oleh Hermetia, melalui mekanisme biokonversi, protein tersebut bisa terserap. Yang menarik, di tubuh larva lalat, jumlah protein malah melonjak menjadi 40%.
Anggota Diptera ini bukan pembawa penyakit layaknya lalat rumah. Sebaliknya, maggot malah menahan perkembangbiakan lalat rumah dengan memangsa larvanya. Selain berpotensi sebagai sumber protein pakan, maggot juga bisa langsung diberikan kepada ikan.
Protein Tinggi
Wayan menjelaskan keuntungan pemanfaatan maggot sebagai pengganti tepung ikan. Maggot yang sudah diolah menjadi pellet mengandung protein sebesar 29%-40%. Pellet tersebut dijual dengan harga Rp3.500 per kg. Sedangkan harga pellet komersial dengan kandungan protein sebanding, harganya mencapai Rp6.500 per kg.
Indonesia dengan 6 juta ha lebih kebun sawitnya, lanjut Wayan, berpotensi mengembangkan maggot secara besar-besaran. Dalam hitungannya, kebun sawit tersebut dapat dihasilkan 2,5 juta—3 juta ton bungkil sawit per tahun. Sementara untuk menghasilkan 1 kg maggot dibutuhkan 3 kg bungkil sawit.
LRBIHT melakukan riset dengan memberi maggot bagi pakan Chromobotia macracanthus alias ikan botia. Ikan hias asli Indonesia ini pertumbuhannya terdongkrak dua kali lipat dibanding yang menggunakan pakan bloodworm dan cacing tanah. “Hasilnya cukup menjanjikan. Botia umur sebulan yang diberi maggot, pertumbuhannya sangat baik,” tambahnya. Kendala terbesar produksi maggot adalah musim penghujan yang menyebabkan black soldier tak mampu terbang sehingga produksi larvanya menurun drastis.
Selamet Riyanto