Teknologi pembenihan patin ini menghemat air dan menghasilkan jumlah benih yang bertahan hidup sampai 96,5%%.
Pada produksi benih patin, pembenih di sekitar Bogor biasanya memelihara larva hasil pemijahan di kolam atau akuarium di dalam rumah yang ditutup rapat. Penutupan ini dilakukan karena patin membutuhkan suhu air yang konstan. Untuk mendapatkan suhu ideal antara 29o—31oC, mereka menggunakan kompor minyak tanah. Selain itu mereka juga harus mengganti air setiap hari karena kualitasnya cepat turun akibat sisa pakan dan kondensasi minyak tanah dari kompor.
“Berdasarkan itulah saya mikir bagaimana caranya air tetap hangat, supaya air tidak harus disedot karena kalau disedot orang masuk juga pengap, juga airnya jangan sering diganti. Maka saya lalu membuat sistem resirkulasi,” ungkap Prof. Dr. Budi Indra Setiawan, pakar rekayasa sumberdaya air dari IPB tentang latar belakang penemuan perangkat pembenihan patinnya.
Hasil temuan yang masuk dalam Indonesia 101 Innovations itu dirintis pada 2002 dan saat ini sedang dalam proses dipatenkan. Pada prinsipnya, sistem resirkulasi tersebut terdiri dari empat subsistem, yaitu penyuplai air, akuarium, sedimentasi, dan filtrasi. Sistem penghangatannya meliputi tiga subsistem: kolektor tenaga surya, pemanas listrik, dan pengendali aliran udara.
Nilai Plus Teknis dan Ekonomis
Teknologi yang kemudian dinamai Sistem Aquatron tersebut menawarkan sejumlah keunggulan teknis maupun ekonomis. “Kita bisa mempertahankan sampai 90% benih tidak mati. Luar biasa. Kenapa tidak mati dan bisa bertahan? Pertama, karena kita bisa mempertahankan kualitas airnya sesuai yang dia butuhkan. Kemudian yang paling penting lagi dari segi penggunaan air. Kalau cara yang biasa itu, sehari kurang lebih 30 liter air harus ganti. Dengan menggunakan sistem ini air tidak perlu ganti. Bayangkan saja 21 hari kali 30 liter,” jelas Budi, lulusan Teknik Pertanian IPB 1983 tersebut panjang lebar.
Jebolan Teknik Biologi dan Lingkungan Universitas Tokyo itu menambahkan, benih patin juga lebih cepat tumbuh. Bila cara konvensional menghasilkan laju pertumbuhan 1 mm per hari, teknologi ciptaannya bisa 1,4 mm per hari.
Aquatron juga memberikan keuntungan ekonomis. Dengan cara konvensional, biaya per ekor benih sampai ukuran sejari manis sebesar Rp338. Jika menggunakan aquatron, biaya produksinya Rp241 per ekor. Hitung punya hitung, satu siklus pembenihan selama tiga minggu menghasilkan nilai tambah Rp2.182.000. “Biaya teknologi ini Rp30 juta. Kalau harga jual benih Rp250, kurang lebih satu tahun setengah bisa kembali modal pembelian teknologi,” terang Budi lagi.
Cara Kerja
Dalam teknologi ini digunakan bak-bak fiber untuk menempatkan larva yang baru menetas. Dari sini, ada saluran air yang masuk ke pengumpul air, masuk ke dalam tangki penyaringan yang ada biofilternya. Sistem biofiltrasi berupa campuran bahan kerikil dan di atasnya ditumbuhkan tanaman air. Dari saringan, air dipompakan ke atas, dari atas air diturunkan lagi mengandalkan grativitasi. Begitu seterusnya.
Semua peralatan tersebut disimpan di ruang tertutup agar kondisi airnya tetap hangat. Penghangatnya itu berasal dari sinar matahari yang memanasi lapisan seng. Seng tersebut bagian luarnya berwarna hitam. Panas kemudian masuk ke dalam ruangan sehingga terjadilah pemanasan ruangan. Pemanasan ruangan itulah yang menggantikan fungsi kompor dalam sistem konvensional. Di situ juga ada pengontrolnya untuk pemasukan udara panas ke dalam ruangan pembenihan bila suhu turun dari angka ideal.
Sekarang sistem aquatron sudah diaplikasikan di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi. Untuk sementara ini teknologi tersebut lebih banyak dimanfaatkan pemerintah, khususnya balai benih, karena institusi ini punya kewajiban bukan hanya menyediakan benih yang akan dibesarkan sebagai ikan konsumsi tetapi juga memproduksi benih untuk disebar di sungai-sungai dalam rangka pelestarian.
Bila pengusaha menginginkan teknologi tersebut bisa saja. Namun, Budi mengaku, belum menjual buah pikirannya ini ke pihak swasta. Pihaknya sengaja mengupayakan paten sistem aquatron agar bisa menjadi milik masyarakat. Menurutnya, aquatron juga dapat diaplikasikan untuk pembenihan ikan yang lain. Ia sudah mencoba untuk ikan hias dan ikan mas. Tentu saja panjang siklusnya berbeda tergantung jenis ikannya.
Suami Indriana Jusuf ini pun tengah mengupayakan perangkat resirkulasinya tersebut untuk pembesaran patin. Tanaman airnya diganti dengan jenis yang lebih produktif, seperti kangkung sehingga ada nilai tambah karena tanaman ini tidak perlu dipupuk.
Peni SP, Marwan Azis (Kontributor)