Ketahanan pangan kawasan tropis yang bersumber dari perikanan laut akan paling telak terkena dampak perubahan iklim karena terjadi penurunan potensi perikanan tangkap.
Hasil studi tim riset gabungan University of British Columbia (UBC-Kanada) dan Princeton University (AS) menyebutkan, perubahan iklim bisa menurunkan potensi perikanan tangkap sebanyak 30%—70% pada kawasan lintang utara yang jauh dari katulistiwa. Sedangkan di kawasan tropis, termasuk Indonesia, penurunannya mencapai 40%.
Hasil proyek Sea Around Us ini merupakan kajian besar pertama tentang perubahan iklim yang bisa menimbulkan pergeseran besar-besaran dalam produktivitas perikanan laut. Hal ini pada gilirannya bisa menimbulkan dampak pada pasokan pangan seantero dunia.
Tim riset yang dipimpin Profesor Daniel Pauly, Guru Besar Perikanan UBC juga menemukan, kawasan yang akan menikmati peningkatan tertinggi dalam potensi perikanan tangkap pada 2055 meliputi Norwegia, Greenland, Alaska, dan pesisir Timur Laut Rusia. Sementara kawasan yang akan mengalami pengurangan terbesar meliputi Indonesia, AS (tidak termasuk Alaska dan Hawaii), Chile, dan China.
Para penyusun laporan mewanti-wanti perlunya riset lanjutan untuk menghitung fakor-faktor dinamis yang mempengaruhi setiap ekosistem. “Kita harus tetap menaruh gambar besar di pikiran dalam memandang kepada ‘pemenang’ dan ‘pecundang’ dalam perubahan iklim,” kata Prof. Pauly.
Pergeseran besar populasi ikan akan menciptakan berbagai perubahan besar di eksosistem kelautan yang kemudian menimbulkan kehilangan spesies ikan dan menciptakan masalah bagi nelayan yang sekarang menangkapnya. Sementara perairan lebih panas menarik spesies ke perairan dingin. Peningkatan suhu ini menciptakan lingkungan menjadi tidak nyaman bagi spesies setempat yang tidak mampu bergeser ke garis lintang yang lebih jauh. Spesies tersebut penting sebagai makanan nelayan asli setempat.
Proyeksi tim riset ini juga menunjukkan, potensi perikanan laut Kanada secara keseluruhan akan tidak berubah. Di pantai barat akan terjadi penurunan 20% dari 2005 ke 2055, tapi di pantai timur akan mengalami kenaikan 10%. Studi itu menganalisis 1.066 spesies mulai dari krill sampai ikan hiu yang merupakan jenis- jenis dari 70% perikanan tangkap dunia.
Pilar Ketahanan Pangan Dunia
Hampir bersamaan dengan keluarnya media rilis dari UBC, delegasi Indonesia ke pertemuan ke-137 Dewan FAO awal Oktober meminta agar peran sektor perikanan dapat dimasukkan dalam rancangan deklarasi Konferensi Tingkat Tinggi Ketahanan Pangan Dunia (WSFS) di Roma 16—18 November 2009. Permintaan itu didasarkan atas pentingnya sektor perikanan sebagai salah satu pilar untuk meningkatkan ketahanan pangan dunia. Dalam pertemuan tersebut Indonesia juga menekankan agar pembahasan dalam WSFS tidak saja menitikberatkan pemenuhan ketahanan pangan secara kualitatif tetapi juga harus fokus pada pentingnya pemenuhan kualitas gizi yang dikonsumsi.
Pemenuhan gizi itu dapat diperoleh dari sektor perikanan sebagai salah satu sumber pemenuhan gizi dan protein. Indonesia pun menekankan eratnya keterkaitan antara konsep ketahanan pangan dengan program pencapaian Millennium Development Goals (MDGs), khususnya mengenai pengentasan kemiskinan dan kelaparan.
Berdasarkan statistik 2005—2008, produksi perikanan Indonesia mengalami kenaikan rata-rata per tahun 8,24% dari 6,87 juta ton pada 2005 menjadi 8,71 juta ton pada 2008. Produksi perikanan tersebut sebagian besar digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan dijadikan produk olahan. Sedangkan penyediaan ikan untuk konsumsi meningkat rata-rata per tahun 7,78% dari 23,95 kg per kapita per tahun pada 2005 menjadi 29,98 kg per kapita per tahun pada 2008.
Diharapkan penyediaan ikan untuk konsumsi dapat sejajar dengan negara Asia lainnya, seperti Jepang sebesar 110 kg, Korsel 85 kg, dan Thailand 35 kg per kapita per tahun.
Dalam Workshop D-8 Working Group on Marine and Fisheries (WGMF) pertengahan Mei 2009 lalu, masuknya sektor kelautan dan perikanan dalam bahasan ketahanan pangan didasari atas kaitan erat dengan dominannya ikan sebagai bahan pakan ternak. Selain itu, ketahanan pangan juga ditafsirkan tidak hanya beras. Pemahamannya tidak bisa ditafsirkan secara kuantitatif saja, namun juga harus diartikan pemenuhan kualitas gizi yang dikonsumsi.
Daud Sinjal