Senin, 12 Oktober 2009

Budidaya Padi Hemat Air

Berbarengan kesibukan AGRINA menyiapkan fokus budidaya padi hemat air, di Bogor (7–9 Oktober 2009) digelar “International Conference on Promising Practices for the Development of Sustainable Paddy Fields”. Ini merupakan pertemuan tahunan ke-7 dari the International Society of Paddy and Water Environment Engineering (PAWEES) yang dibentuk Januari 2003. Sementara di Kementerian Koordinator Perekonomian juga dilangsungkan lokakarya Pengembangan System of Rice Intensification (SRI) dan Adaptasi Perubahan Iklim.

SRI, salah satu resep budidaya padi yang jitu untuk mendukung produktivitas padi sekaligus melindungi ekosistem. Resep ini ditemukan dan dikembangkan seorang pastor Jesuit, Henri de Laulanie, di Madagaskar. Kendati metode itu sudah teruji pada 1983, baru 10 tahun kemudian ia mendunia. Indonesia dan China - hampir bersamaan 1999/2000 - adalah negara-negara yang pertama mengadopsi SRI di luar tanah kelahirannya.

Menurut Norman T. Uphoff dari Cornell University, AS, di Indonesia SRI telah diuji 12.133 kali di 14 provinsi, meliputi areal 9.429 ha. Hasilnya menunjukkan peningkatan produksi padi rata-rata 3,3 ton per ha, berarti kenaikan 78% dari produktivitas rata-rata nasional 4,8 ton per ha. SRI bisa menghemat penggunaan air sampai 40% dan pemakaian pupuk sampai 40%. Total ongkos produksi yang bisa dihemat adalah 20%.

Wakil Rektor IPB,  Prof. Yonny Koesmaryono, dalam konferensi itu, mengatakan, memproduksi padi tidak hanya meningkatkan kualitas tetapi juga menjaga ekosistem dan sumberdaya alamnya. Ia pun merujuk teknik budidaya SRI akan menjadi topik menarik karena keunggulannya yang  hemat air, tanpa menggunakan pupuk buatan. Prof. Indra Budi Setiawan dari IPB mengingatkan, sektor pertanian adalah yang paling banyak memboroskan air. Untuk menghasilkan 1 kg beras dibutuhkan sekitar 300 ribu liter air.

Inti kejituan SRI adalah efisiensi dan pelestarian alam. Efisien, karena produktivitas bisa meningkat dengan ongkos yang bisa ditekan. Pelestarian lingkungan, karena tidak memboroskan air dan mengurangi pemakaian pupuk kimia. Nendi, petani dari Cikampek, Subang, mengatakan, selama ini untuk menggenjot produksi padi diperlukan banyak biaya dan pupuk. Padahal aplikasi urea terus menerus akan merusak tanah. Banyak pemikiran yang keliru, bertani padi adalah menyuburkan tanaman, bukan menyuburkan tanah. Padahal jika tanah subur, maka tanaman pun akan menjadi subur. 

Petuah atau pameling sering dinyanyikan petani Jawa sejak dulu kala berisikan tatacara bertani selaras alam. Petuah itu dituliskan di Kompas (Metode Kuno,  Jumat, 18 September 2009): “Jauhkan tanaman padi dari genangan air seperti samudra. Pupuk sebagai makanan dan air sebagai penghidupan harus seimbang.”  TO Suprapto (52), petani dan pelopor pertanian organik di Godean, Sleman, Yogyakarta, menyatakan, pada prinsipnya SRI dan pameling Jawa itu senapas, yaitu menyelaraskan diri pada alam. ”Nenek moyang kita telah mengenal teknik pertanian yang selaras alam ini sangat lama, jauh sebelum pemerintahan Orde Baru memaksa petani menggunakan pupuk kimia dan pestisida.”.

Pameling adalah petuah yang menyadarkan. Sebenarnya selaras juga dengan nama asosiasi petani, LSM, pelaku usaha tani yang mengembangkan SRI di Madagaskar, "Tefy Saina" yang berarti "meningkatkan pikiran”. Nama itu diberikan untuk menyatakan, organisasi itu tidak semata memperhatikan beras, tapi juga menolong masyarakat mengubah dan membangkitkan pikiran dan kesadarannya. 

“Pameling” dan "Tefy Saina" menjadi begitu relevan. Khususnya bagi Indonesia yang sangat mubazir dengan air. Memiliki belasan ribu sungai, 222 hari dalam setahun disiram hujan, bangsa kita menganggap ketersediaan air terjamin, malah berkelimpahan. Tidak seperti Jepang, Singapura, dan Australia, Indonesia merasa tidak perlu mendaur ulang air. Malas membangun waduk dan embung. Padahal pola iklim sudah berubah, populasi manusia semakin cepat berlipat ganda, kawasan hutan yang menangkap dan menyerap air semakin ciut oleh pemukiman, perkebunan, dan pabrik. Bencana alam dan keganjilan iklim yang semakin kerap sudah menjadi pertanda nyata akan ketidakselarasan alam. Penerapan SRI bisa menjadi salah satu pembuka jalan untuk keseimbangan baru yang diharapkan. Ketahanan pangan-kelestarian lingkungan.

Daud Sinjal

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain