Senin, 14 September 2009

Terjebak Arus Impor Pangan

Berita berita utama Kompas tentang impor pangan, Senin 24 Agustus sampai Sabtu 29 Agustus lalu seperti hendak menghentak kesadaran khalayak tentang betapa masih rentannya ketahanan pangan kita. Indonesia kian terjebak arus impor pangan. Lebih dari US$5 miliar atau setara dengan Rp50 triliun lebih devisa setiap tahun terkuras untuk mengimpor kedelai, gandum, daging sapi, susu, dan gula. Bahkan, garam yang sumber dayanya tersedia cuma-cuma, masih harus diimpor sebanyak 1,58 juta ton per tahun senilai Rp900 miliar. Indonesia yang punya laut 5,7 juta km2 juga mengimpor ikan. Volume impor produk perikanan tahun lalu: 280.179,34 ton dengan nilai US$268 juta.

Maka tokoh-tokoh yang punya kompetensi berbicara, menyerukan kepada pemerintah untuk berani menghentikan impor dan introspeksi diri. “Tanpa keberanian, apalagi kalau hanya saling menyalahkan antarmenteri maupun departemen, dalam lima tahun ke depan tidak akan tercapai keinginan untuk swasembada pangan,” ujar Ketua Umum Kadin MS Hidayat.  

Guru besar IPB, Hermanto Siregar, mengingatkan, dampak langsung impor pangan adalah terkurasnya devisa negara, dan dampak tidak langsungnya adalah kehilangan peluang penyerapan tenaga kerja yang lebih besar. Keinginan untuk mengurangi jumlah penganggur tidak bisa maksimal.

Harap maklum, ketergantungan terhadap bahan baku impor karena pertimbangan kontinuitas pasokan dan biaya transportasi. Rantai pasokan dalam negeri tersendat sejak dari benih, pupuk, irigasi sampai pada pengolahan dan pengangkutan. Prasarana jalan dan pengangkutan antarpulau kurang mendukung, cuaca pun sering mengganggu. Kendala produksi dan rantai pasokan itu diatasi dengan impor karena konsumen tidak bisa menunggu. Serbakekurangan ini ditimbulkan oleh diri sendiri, dan utamanya kebijakan politik pemerintah yang menerbitkan UU dan regulasi yang saling menindih dan memotong. Masing-masing sektor mementingkan diri sendiri, sementara keberhasilan pertanian justru ditentukan oleh dukungan di sektor-sektor lain.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada awal periode pemerintahannya yang pertama mencanangkan revitalisasi pertanian sebagai trisula pembangunannya untuk mengentaskan kemiskinan, meluaskan lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi (pro poor, pro job, pro growth). Dalam periode 2004-2009 ditargetkan pertumbuhan sektor pertanian rata-rata 3,52% per tahun. Produksi beras dalam negeri yang ditargetkan minimal 90% dari kebutuhan domestik ternyata terlampaui, kita malah surplus beras pada 2008.

Tapi ada lima sasaran lagi yang berkaitan dengan pertanian pangan, antara lain diversifikasi produksi untuk mengurangi ketergantungan pada beras, ketersediaan pangan ternak dan ikan dari dalam negeri. Juga peningkatan daya saing dan nilai tambah produk pertanian dan perikanan, serta ekspor komoditas pertanian.

Pada Lokakarya Regional ASEAN tentang Swasembada Beras dan Ketahanan Pangan dan Pameran “Eksotika Pangan Indonesia” di Jakarta, 8 Mei lalu, Presiden SBY mengingatkan, kebijakan serta program aksi yang dijalankan pemerintah saat ini untuk menjaga ketahanan pangan, bermula dari revitalisasi pertanian. “Marilah kita menyempurnakan apa yang telah kita lakukan hingga hari ini," katanya. Tentu saja ajakan ini terus berlaku dan mungkin lebih kencang setelah SBY memenangkan mandat untuk melanjutkan kepemimpinan nasional 2009–2014. Pemerintahan barunya akan dilantik 26 Oktober yang akan datang.

Namun sebelum melangkah lebih lanjut, ada baiknya Presiden dan jajaran pemerintahannya membuat neraca yang terang tentang apa yang telah dicapai dan apa yang belum dicapai sejak revitalisasi pertanian dicanangkan pada Juni 2005 sampai 2009 ini. Tentang seberapa luas lahan tambahan, seberapa jauh air mengalir, seberapa efektif subsidi benih dan pupuk, seberapa kusut regulasi-regulasi yang telah diterbitkan. Tentang rentang jembatan, jalur jalan, pelabuhan. Tentang angka senilai 5% dari APBN tergerus untuk mengimpor komoditas yang seharusnya bisa kita hasilkan dan penuhi sendiri. Reality bites, kenyataan-kenyataan yang terjadi memang bisa pahit, tapi banyak pelajaran yang bisa diambil dari situ.

Daud Sinjal

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain