Sesekali-kali ayah tiga anak pemilik tiga hektar kebun sawit itu menyeka keringatnya. Dalam pikirannya hanya satu, mudah-mudahan harga jual ekspor minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) di tingkat dunia segera pulih karena ini akan berimbas kepada tingkat kesejahteraan petani, termasuk dirinya. “Sekarang untuk beli pupuk saja rasanya sulit. Jatuhnya harga jual CPO di tingkat global membuat petani terpuruk,” keluh Subari ketika ditemui AGRINA.
Hanya Rp900 per kg
Gubernur Kalbar, per 1 Agustus 2009, telah menetapkan harga tandan buah segar (TBS) umur tanaman 3—4 tahun sebesar Rp1.200 per kg di tingkat petani. Sedangkan TBS dari tanaman berumur 5 tahun sebesar Rp1.400 per kg.
Kenyataannya, hanya PTPN XIII yang mematuhi ketentuan itu dengan membeli TBS dari tanaman berumur 3 tahun sebesar Rp1.200 per kg. Itu pun kesannya petani dipermainkan. Sebelum masuk ke ruang pabrik CPO, TBS petani disortir tingkat kemasakannya. Akibatnya, minimal 25% TBS petani dibuang dengan dalih tingkat kemasakannya di bawah standar. Hal itu berbeda dengan pembelian oleh PTPN XIII. TBS dari petani, walaupun tingkat kemasakannya di bawah 75%, tidak pernah disortir sebelum masuk ke ruang pabrik CPO.
”Pabrik CPO milik swasta hanya berani membeli TBS petani Rp900 per kg. Walau bedanya Rp300 per kg dengan harga jual di pabrik CPO milik PTPN XIII, tapi TBS petani tidak pernah disortir sebelum masuk ruang pabrik,” ujar Subari. Dengan harga jual Rp900 per kg, petani hanya bisa mengantongi pendapatan kotor Rp2,304 juta per ha. Asumsinya, per hektar ditanami 128 pohon dan per pohon rata-rata berproduksi 20 kg TBS.
Biaya operasional, seperti pemupukan, perawatan, pemanenan, dan pengangkutan TBS ke pabrik CPO, sudah menelan biaya hampir Rp2 juta per ha per bulan. Hitung-hitung, pendapatan bersih yang bisa dibawa pulang ke rumah tidak lebih dari Rp600 ribu per ha. Menurut Subari, harga TBS baru dikatakan berpihak kepada petani bila secara riil dibeli pabrikan minimal Rp1.500 per kg.
Hanya Sawit
Program revitalisasi perkebunan tidak berjalan mulus di Kalbar. Kendalanya, adalah kurangnya dukungan dari kepala pemerintahan otonom, masih terjadi tumpang tindih lahan, dan mayoritas perusahaan perkebunan berskala besar dan berpengalaman tidak bersedia menjadi avalis para petani.
Di sisi lain, kendati revitalisasi perkebunan mencakup kelapa sawit, kakao, dan karet, faktanya pihak bank hanya mau mengucurkan kredit untuk sawit. ”Alasannya, karena kakao dan karet tidak memiliki prospek yang bagus. Jadi, dari 12.000 ha yang diproyeksikan, hanya terealisasi tidak lebih dari 5.000 ha,” ujar Idwar Hanis, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalbar.
Menurut Idwar, sebagian besar kepala pemerintahan otonom di Kalbar, tidak mengerti program revitalisasi perkebunan. Baru lima perusahaan di Kalbar yang ikut program revitalisasi, dua sudah dalam tahap pelaksanaan di lapangan, sedangkan tiga lainnya sedang menyusun kesepakatan dan perjanjian kemitraan dengan petani. Kalbar mengalokasikan lahan 1,5 juta ha untuk perkebunan. Sejauh ini luas kebun sawit sudah mencapai 800 ribu ha yang 250 ribu ha di antaranya milik petani. Idwar barharap program revitalisasi perkebunan diperpanjang karena baru tiga bulan terakhir ini muncul antusiasme para bupati dan walikota setelah berkali-kali masyarakat mendesak minta difasilitasi untuk memperoleh kredit revitalisasi perkebunan.
Aju (Kontributor Pontianak)