El Nino bukan barang baru. Malah, dari penelitian arkeologi, perubahan iklim ekstrem yang kini disebut El Nino itu sudah ada 4.000 tahun lalu, yang menghancurkan kehidupan Bangsa Sumeria, di tepi Sungai Eufrat yang menjadi Irak sekarang. Atau yang pada tahun 650 memunahkan Bangsa Moche di kaki Pegunungan Andes yang kini masuk wilayah Peru.
Indonesia memang baru pertama kali mengalami dampaknya yang telak pada 1997. El Nino, yakni pemanasan suhu permukaan Lautan Pasifik yang bisa membuat kekacauan pola iklim global yang ekstrem, mengakibatkan kemarau berkepanjangan, yang menimbulkan kebakaran hutan dan lahan, kemudian disusul hujan ekstra deras yang menimbulkan banjir.
El Nino mengakibatkan kegagalan panen, dan pada gilirannya keresahan sosial (El Nino yang parah di Perancis, pada 1787—1788, menimbulkan kegagalan panen, memicu kenaikan harga pangan, kelaparan, dan pada puncaknya, Revolusi Perancis).
Lembaga pemantau iklim Amerika Serikat, National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), juga Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Indonesia sejak Juli lalu sudah membaca kedatangan El Nino ini. Namun perkembangan sampai Agustus menunjukkan intensitasnya lemah, tidak separah 1997/1998.
Sejak kejadian itu pemerintah dan masyarakat Indonesia pun sudah belajar mengantisipasi pengacauan alam yang tak bisa dilawan itu, tapi dapat ditangkis kerusakan yang ditimbulkannya sekecil mungkin. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono misalnya, menyatakan, bisa diadaptasi dengan percepatan masa tanam, mengembangkan varietas padi yang bisa ditanam di daerah sedikit air, serta memanfaatkan rawa untuk sawah.
Lepas dari apakah El Nino tahun ini akan ekstrem, sedang, atau lemah, pemerintah tetap meningkatkan kewaspadaan terhadap kebakaran lahan dan hutan, mengerahkan penyuluh untuk memberi bimbingan teknis dan pendampingan pada petani, mengupayakan infrastruktur, seperti waduk, embung, dan sistem irigasi berfungsi baik. Juga menyediakan tangki-tangki air. Departemen PU mengebut pembangunan waduk Jati Gede dan kini sudah mencapai 100%. Departemen Keuangan mencadangkan dana Rp1 triliun—Rp2 triliun untuk digelontorkan sebagai bantuan langsung tunai (BLT).
Untuk negeri yang begitu luas yang terdiri dari belasan ribu pulau, maka masyarakatlah – terutama yang bermukim di daerah aliran sungai dan di pesisir (60% penduduk Indonesia dan 80% industri berada di pesisir).yang semestinya menjadi ujung tombak dalam mengantisipasi dan mengadaptasi perubahan iklim.
Dalam soal adaptasi dan mitigasi, Indonesia sebenarnya sudah menumbuhkan gerakan dari bawah melalui pembukaan sekolah-sekolah lapangan iklim di ratusan kabupaten. Dengan pengetahuan petani “membaca langit”, mereka bisa menentukan secara otonom komoditas apa yang mau ditanam dan aman dari risiko pengacauan cuaca. Pengadaan benih subsidi juga merupakan langkah antisipasi, dengan itu petani bisa menentukan kapan saja waktu yang dikira cocok untuk menanam.
Yang masih harus diperbanyak adalah tenaga tenaga penyuluh lapangan untuk mendampingi petani. Juga untuk menggerakkan secara sistematis pengorganisasian kekuatan rakyat sepanjang daerah aliran sungai (DAS) mengamankan sumber sumber air dan alirannya agar tidak menjadi banjir atau terbuang percuma ke laut. Mengamankan parit-parit irigasi, memarkir air dalam embung, menyekat aliran deras sungai dengan bendung-bendung kecil. Jangan pula diabaikan penggalangan mitigasi untuk kawasan pesisir dan pulau pulau kecil.
El Nino bisa datang dan pergi setiap 5—10 tahun sekali, bahkan bisa setiap 1—2 tahunan. Atau seperti yang dikatakan Menteri Pertanian 2000—2004 Prof. Bungaran Saragih, bisa siklus 7 tahunan. “Seperti yang dialami Nabi Yusuf di Mesir, tujuh tahun paceklik dan tujuh tahun panen”, katanya. Maka, bagi orang-orang Indonesia yang mayoritas menganut agama-agama samawi dan sejak kecil sudah mendengar atau membaca “Hikayat Nabi-nabi”, sebenarnya tidak begitu sulit untuk membangkitkan kesadaran tentang fenomena alam yang bisa membawa berkah, tapi juga bisa membawa bencana ini. Buku pintar - cetak mau pun eletronik - metode mengantisipasi, mengadaptasi, dan mitigasi perubahan iklim sudah banyak tersedia. Kemauan politik dari pemerintah juga cukup kuat.
Daud Sinjal