Senin, 31 Agustus 2009

Revolusi Pangan Berkat Nanoteknologi

Tahun depan, diperkirakan nilai pasar produk-produk pangan yang mengandung nano sekitar US$ 20,4 miliar.

Coba Anda bayangkan. Di dalam sebotol minuman terdapat beribu-ribu nanokapsul perangsang citarasa, warna, zat gizi, serta jenis minumannya, seperti susu, kopi, dan wiski. Nanokapsul ini dorman (belum aktif) sehingga minuman itu terlihat bening. Dengan menekan tombol pada botol, nanokapsul menjadi aktif sesuai yang kita inginkan. Jika yang diaktifkan nanokapsul kopi, maka kita bisa menikmati kopi.

Dulu, ini kita anggap fiksi, tapi sekarang memang nyata. Kraft Foods, Nestle, H.J. Heinz, dan Unilever sudah memasarkan jenis-jenis produk seperti ini. Di luar negeri dikenal dengan “minuman interaktif”. Itulah salah satu ilustrasi kemajuan nanoteknologi.

Apa sih nanoteknologi itu? Secara teknis, nano berarti benda-benda yang berukuran sepermiliar (10-9) meter. Nanoteknologi merujuk kepada materi yang berukuran 0,1 nanometer (nm) sampai 100 nm. Perhatikan partikel air yang berukuran 0,1 nm, glukosa 1 nm, virus 100 nm, bakteri 1.000 nm, dan bola tenis 100 juta nm. Nanoteknologi bakal menjadi wahana revolusi baru di dunia industri.

Daya tarik nanoteknologi terletak pada kenyataan, benda berukuran kecil mempunyai sifat fisik dan kimia yang berbeda dengan benda berukuran besar, meski komposisinya sama. Perbedaan itu meliputi kekuatan fisik, daya reaksi kimia, daya rambat listrik, daya magnetisme, dan daya optikal.

Di bidang pangan, menurut Prof. Dr. F.G. Winarno, nanoteknologi ini dapat meningkatkan mutu dan keamanan pangan. Dengan botol nano, misalnya, daya simpan bir bisa ditingkatkan dari 6 bulan menjadi 18 bulan. “Daya simpannya bisa diperpanjang,” kata ahli pangan itu pada seminar Nanoteknologi bagi Industri Pangan, Minuman, Farmasi, dan Kosmetik, 11—12 Agustus lalu, di Bogor.

Di bidang kemasan pangan, nanopartikel dapat digunakan sebagai sensor yang mendeteksi dan memberikan peringatan. Sensor itu akan menangkap gas yang berukuran nano sehingga kemasan akan memberikan sinyal bahwa makanan mulai busuk. Bahkan,”Kita bisa mendeteksi sumber-sumber kontaminan seperti (virus) flu burung atau flu babi,”  lanjut Winarno.

Selain itu, dalam bentuk nano, makanan cepat diserap usus dan yang terbuang lebih sedikit. “Menurut saya, kalau kita sudah masuk ke nanoteknologi, akan banyak sekali orang kaya,” cetusnya.

Sebenarnya sudah banyak perusahaan yang menerapkan nanoteknologi. Namun, karena masih pro-kontra seperti halnya produk-produk GMO (genetically modified organism), banyak yang tidak berterus terang. Di pasaran di Indonesia, menurut F.G. Winarno, baru Anlene Gold (susu kalsium mengatasi keropos tulang) yang menyatakan dirinya mengandung nanokalsium. “Mereka berani pasang badan,” tegas alumnus IPB itu.

Coba kita perhatikan di pasaran, ada celana dalam antibakteri, mesin cuci antibakteri, penyaring udara yang bisa melumpuhkan jasad renik, dan sebagainya. Diduga produk-produk ini sudah menggunakan nanoteknologi. “Tapi sekarang sudah tidak bisa lagi disembunyikan,” kata pendiri PT Embrio Bioteknindo, di Bogor, itu.

Perkembangan industri berbasis nanoteknologi memang demikian pesat. Menurut Helmuth Kaiser Consultancy, pasar pangan berbasis nanoteknologi di dunia meningkat dari US$ 2,6 miliar pada 2004 menjadi US$ 20,4 miliar pada 2010. “Penelitian nanoteknologi bergerak dengan cepat sekali. Namun, kemajuan persiapan regulasinya sangat ketinggalan. Tidak satu pun negara di dunia memiliki peraturan perundang-undangan penggunaan nanoteknologi,” kata F.G. Winarno.

Syatrya Utama

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain