Perkembangan virus avian influenza (AI) atau yang lebih dikenal flu burung, di peternakan ayam kini sudah sangat berubah.
Virus AI terbilang virus yang secara antigenik sangat labil sehingga penentuan master seed vaksin AI menjadi masalah krusial. Padahal dalam strategi vaksinasi sangat penting penentuan master seed virus yang digunakan sebagai bibit vaksin yang baku.
Menurut Agus Wiyono, Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan, Deptan, selama ini vaksin yang sudah teregistrasi sementara oleh pemerintah tercatat 20 vaksin. Vaksin tersebut sesuai dengan H5N1, H5N2, H5N9. Namun, virus yang beredar di Indonesia sangat banyak memiliki karakteristik sehingga setelah dilakukan karakterisasi ditemukan sekitar 300 karakter.
Dr. I Gusti Ngurah Mahardika dari Laboratorium Biomedik dan Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Bali, melakukan analisis sekuens hemaglutinin (HA) terhadap isolat-isolat virus avian influenza H5N1 asal peternakan ayam yang terkena AI pada 2008—2009 untuk memantau dinamika virus dan memprediksi daya guna vaksin.
Perkembangan Virus
Mahardika menjelaskan, berdasarkan analisis filogenetik, virus hasil isolasi pada 2008—2009 berevolusi dari kelompok virus yang sebelumnya diidentifikasi sebagai Group A. Virus-virus tersebut mengelompok menjadi empat kelompok: satu kelompok berada bersama-sama dengan virus PWT-WIJ dan SMI-PAT, satu kelompok lagi bersama-sama dengan virus Muscovy Duck atau HABWIN yang dekat dengan virus Subang (yang terakhir datanya tidak tersedia di GeneBank).
“Dua kelompok yang lain lagi tidak ada kerabatnya di data GeneBank, kemungkinan adanya kelompok tambahan masih terbuka. Dua Isolat asal Sumatera dan Sulawesi Selatan berada terpisah dengan kelompok tersebut,” papar Mahardika.
Analisis yang sama juga menunjukkan, virus-virus baru tidak membentuk klaster geografis tertentu, terutama di Pulau Jawa. Jarak genetik pada tingkat ayam animo virus-virus 2008—2009 dengan virus Legok berkisar 2,1%-8,7%. Sedangkan dengan virus PWT-WJ/SMIPAT dan HBWIN adalah 2,4%-7,1% dan 0,5%-6,3%. Jarak genetik tersebut terjadi karena banyaknya asam amino yang berbeda pada isolat 2008—2009.
Analisis selanjutnya, guna mengetahui beberapa asam amino pada HA-1 yang dikenal merupakan determinan biologis penting bagi masing-masing isolat. Selama ini dikenal HA-1 berperan dalam pengikatan reseptor, pembentuk kantung pengikat reseptor, polibasik cleavage site sebagai ciri khas virus HPAI dan lima titik antigenik (antigenic site).
Semua isolat baru mempunyai preferensi pada reseptor avian, yaitu a-2,3-NeuAcGal. Akan tetapi asam amino yang dekat dengan posisi itu mengalami perubahan S217T, N2202, dan E227D pada tiga isolat. Varian S217P, M226I dan E227G yang ditemukan pada satu isolat.
Pada cleavage site, semua isolat mempertahankan asam amino basa yaitu Arigin (R) dan lisin (K) yang menjadi ciri khas HPAI. Namun hampir semua isolat mempunyai subtitusi (S) dari arigin (R) pada asam animo 325, kecuali pada isolat asal Sumatera Utara. “Perubahan R325S itu kemungkinan mempengaruhi cleavabality virus-virus baru yang meningkatkan kehebatan penyakit,” kata Mahardika.
Mahardika memaparkan, analisis antigenic site yang berhubungan dengan protektivitas silang antarvirus menunjukkan adanya perubahan di semua isolat pada tiga determinan antigenik, yaitu site A, B, dan E, sementara site C dan D stabil. Determinan antigenic A pada posisi 138, 140, dan 141 dari asam amino Q, K, dan S pada virus Legok berubah menjadi L, S, dan P pada virus 2008-2009. Posisi 156 dan 189 yang merupakan determinan antigenic site B pada bibit vaksin lama berubah menjadi T dan R/G/M pada virus baru, Perubahan determinan antigenic E adalah N84N/S, A86T. Perubahan pada posisi 156, 84, dan 86 menyebabkan penambahan glikosilasi pada virus 2008-2009
Untuk mengungkapkan pengaruh perbedaan genetik itu, dengan daya lindung vaksin, kajian biologi mendesak untuk dilakukan. Dari data yang tersedia, vaksin AI yang dibuat dengan bibit vaksin legok tampaknya sudah tidak dapat memberikan kekebalan yang baik terhadap tantangan virus lapang. Vaksin-vaksin yang berbasis N5N2 atau H5N9 bahkan mempunyai perbedaan genetik yang lebih jauh dibandingkan virus-virus AI H5N1 Indonesia.
Oleh sebab itu, Mahardika berharap bibit vaksin AI hendaknya segera diperbaharui, jika tidak, kerugian peternak akan semakin besar. Dan juga penyakit AI tidak terkendali mengingat virus yang ada di lapangan sudah semakin beragam. “Vaksin generasi baru diusulkan berisi campuran beberapa isolat yang diinaktifkan atau vaksin polivalen. Beberapa isolat yang tersedia dapat diajukan sebagai calon bibit vaksin yang baru,” ucapnya.
Sependapat dengan Mahardika, Agus Wiyono mengatakan, seiring peningkatan perkembangan virus AI yang beredar di lapangan tentunya vaksin-vaksin yang beredar saat ini sudah tidak mampu secara optimal hingga 100%, tapi masih dapat digunakan karena masih berfungsi sekitar 60%. “Jika memang sesuai uji tantang yang dilakukan ternyata ada vaksin yang baru dan mampu mengatasi virus AI, sudah sepatutnya harus digunakan peternak,” ucapnya.
Selain itu, Prof. Fedik Abdul Rantam, Dep. Mikrobiologi dan VPH-FKH Unair, mengatakan, selain menggunakan vaksin, penerapan biosekuriti dengan disinfektan juga merupakan salah satu cara yang paling efektif dalam mencegah serangan virus AI ini. Dia beralasan, “Karena selama ini, vaksin belum dapat menanggulangi penyakit secara sempurna di lapangan.”
Yan Suhendar