Bentuk tubuhnya pendek. Yang jantan berbulu lebat. Uniknya lagi, bulunya lazim digunakan untuk memancing ikan.
Itulah ciri khas kambing gembrong yang hanya ditemui di Bali timur. Ciri lainnya, bentuk dan ukuran tubuh kambing betina mirip kambing kacang. Tapi pada bagian bawah perut melebar. Kambing gembrong betina juga bertanduk, namun lebih pendek dan oval. Kambing yang satu ini umumnya berbulu polos putih.
Kambing gembrong jantan berbulu panjang, yang tumbuh mulai dari kepala hingga ekor. Bila dibiarkan, panjang bulu bisa mencapai 25—30 cm. Setiap 12—16 bulan sekali, bulunya mesti dicukur. Jika tidak, bulu bagian kepala dapat menutupi mata sehingga akan mempersulit kambing saat makan.
Untuk Mancing
Bulu hasil pencukuran, oleh peternak kemudian dicelupkan ke dalam larutan pewarna dan dipilin. Selanjutnya dijual kepada para nelayan untuk umpan memancing ikan. Keistimewaan bulu kambing ini, setelah dicelupkan bahan pewarna, bila dimasukkan ke dalam air laut akan tampak bercahaya sehingga mendorong ikan mendekatinya.
Hasil penjualan bulu cukup lumayan. Setiap ekor sekali cukur bisa menghasilkan Rp300 ribu—Rp350 ribu. Wajar kalau beberapa peternak tetap mempertahankannya sebagai peliharaan.
Sayang, di kalangan para peternak masih ada anggapan keliru. Kambing gembrong jantan yang hendak dipelihara bulunya tidak boleh dikawinkan. Mereka beranggapan, jika kambing tersebut digunakan sebagai pemacek akan membuat bulunya tidak mau tumbuh panjang, bahkan akan rontok. Anggapan ini menyebabkan populasi kambing gembrong sulit meningkat. Di sisi lain, kambing gembrong betina banyak dikawinkan dengan kambing jantan peranakan ettawa (PE) atau kacang sehingga keturunannya tidak murni lagi.
Hampir Punah
Hingga 1970-an, kambing gembrong bisa ditemui di Kabupaten Karangasem dan Klungkung bagian Timur. Namun kini populasinya kian terbatas dan hanya terdapat di Kecamatan Karangasem dan Abang (keduanya di Kabupaten Karangasem).
Tahun 1980-an, jumlah kambing ini diperkirakan lebih dari 150 ekor. Namun hasil survei Yayasan Prinawisa, Denpasar, pada 1997, hanya menemukan 64 ekor. Si gembrong ini dipelihara para peternak kecil yang berpendapatan rendah dengan kepemilikan 2—4 ekor per orang. Manakala tiba musim peceklik, atau tuntutan biaya hidup menghadang, para pemilik menjualnya.
Untuk melestarikannya, Yayasan Prinawisa bekerja sama dengan Yayasan Kehati, Jakarta, pada 1998 melakukan konservasi di habitat asli (in situ). Kala itu, yayasan membentuk breeding center di Desa Bugbug, dengan melibatkan 5 orang peternak sebagai kooperator. Namun upaya tersebut kurang berhasil karena para petani kooperator kurang ketat dalam manajemen reproduksi.
Sejak 2005, pihak Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali berupaya melakukan konservasi di luar habitat aslinya (ex situ). Konservasi dilakukan di kebun plasma nutfah di Desa Sawe, Jembrana. Dari 6 ekor yang dipelihara, kini berkembang menjadi 17 ekor. Pada 2009, direncanakan ternak endemik ini akan dikembalikan ke habitat aslinya, di Desa Ujung, Karangasem. Untuk menjaga kemurniaannya, dipilih peternak yang tidak memelihara jenis kambing lain.
Serangkaian penelitian untuk menggali potensi ekonominya juga akan dilakukan. Termasuk potensi ekonomi bulunya, selain untuk memancing ikan. Di samping itu, direncanakan lokasi breeding centre untuk obyek wisata.
Suprio Guntoro, Peneliti BPTP Bali