Selasa, 18 Agustus 2009

Dan Morakot pun Datang Menerjang

Tiga belas tahun lalu kita mulai mengenal gejala perubahan iklim melalui El Nino yang membawa kekeringan dan kebakaran hutan nan parah pada 1997. Awas, ia mengintip lagi!

Hampir bersamaan dengan gejala perubahan itu, ada Protokol Kyoto yang menggalang sikap dan kebersamaan negara-negara untuk mengurangi pengeluaran karbondioksida dan gas rumah kaca. Sejak itu isu-isu perubahan iklim dan pemanasan global kian menghangat. Di Indonesia pun sudah dibentuk Dewan Nasional Perubahan Iklim yang diketuai langsung oleh Presiden.  

Namun keganjilan iklim dan cuaca masih belum menjadi kesadaran publik secara merata. Anomali iklim seolah cuma urusan petani yang menghadapi kekacauan musim tanam karena hujan datang kepagian atau telat, lebih lebat tapi singkat, dan musim kemarau yang lebih panjang.

Bagusnya sejak 2003, IPB, Deptan, dan BMG telah membangun sekolah lapangan iklim (SLI), yang dimulai di Indramayu dan kini sudah ada di 19 provinsi. Di SLI petani belajar tentang iklim dan mengantisipasi yang ekstrem, menerjemahkan prakiraan iklim untuk menyusun strategi lebih tepat. Dengan demikian mereka bisa lebih memastikan varietas serta kalender tanam yang cocok dengan perubahan iklim.

Ancaman bahaya pemanasan global juga berlaku untuk alam lautan. Namun, kesadaran masyarakat Indonesia terhadap dampak klimat atas perikanan dan kelautan belum bertumbuh. Kendati 70% wilayah Indonesia adalah lautan, hanya 10 juta orang yang hidupnya bergantung langsung pada laut. Maka menjadi berita kecil, tatkala cuaca buruk tahun lalu hanya memberi 180 hari bagi nelayan tradisional untuk melaut.

Siasat Cuaca Ekstrem

Gelagat perubahan iklim semakin sering terlihat. Cuaca yang menjadi lebih ekstrem mengubah persebaran ikan, mengubah habitat, ukuran, dan produktivitasnya. Perikanan darat juga menderita karena sumber air makin berkurang oleh curah hujan yang menurun. Ekosistem lautan yang berubah membelokkan rute migrasi ikan, tempat bertelur, dan sumber makanannya. Alhasil, musim ikan bagi masyarakat nelayan dan konsumen jadi tidak menentu atau mereka malah kehilangan ikan lokal kegemarannya. 

Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sewaktu-waktu bisa diterjang hantaman keras kombinasi gelombang laut raksasa dan badai ganas, seperti  topan Morakot (artinya Zamrud) yang mengamuk 7 Agustus lalu di Filipina, Taiwan, dan China. Topan ini merenggut lebih dari 100 nyawa manusia.

Menyiasati cuaca ekstrem yang menumpahkan hujan sangat deras adalah dengan mengisi penuh saluran irigasi, danau, dan embung penampungan. Wilayah langganan banjir dan tidak cocok lagi buat pertanian diubah untuk budidaya ikan (tentunya melalui riset dan adaptasi teknologi dan pengelolaannya). Telaga, embung, dan parit digali lebih lebar dan lebih dalam atau ditambah agar cukup menampung air tatkala banjir, dan berfungsi ganda sebagai reservoir dan tempat budidaya ikan. Limbah pakan dan air dari situ dimanfaatkan untuk pertanian tanaman pangan agar bisa panen di segala musim.

SLI juga perlu menambahkan modul-modul untuk kelautan. Sejumlah lembaga internasional telah menawarkan bantuan, mulai dari pemetaan, pengenalan, perangkat peringatan dini, kesiapan, pengalihan iptek sampai perumusan strateginya. Termasuk membiakkan ikan yang bisa beradaptasi dengan klimat baru di tempat yang baru.

Daud Sinjal, dari berbagai sumber

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain