Indonesia menjadi produsen minyak sawit mentah nomor wahid di dunia, tapi para pelaku bisnisnya masih berkiblat ke Rotterdam dalam bertransaksi.
Sejak 2006, Indonesia telah memproklamirkan diri sebagai penghasil minyak sawit mentah (crude palm oil-CPO) terbesar di dunia. Produksinya pada waktu itu, menurut hitungan Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), sebesar 16,4 juta ton. Pada tahun yang sama, Oil World, memperkirakan produksi CPO Indonesia mencapai 16,05 juta ton.
Untuk 2007, DMSI mengeluarkan angka produksi CPO 17,3 juta ton, sedangkan angka Oil World sebesar 16,8 juta ton. Dari jumlah itu, “Indonesia mengekspor 11,9 juta ton CPO dan turunannya dengan menangguk devisa sejumlah hampir US$7,9 miliar,” ungkap Darmansyah, Direktur Perbenihan dan Sarana Produksi Ditjen Perkebunan, Deptan, pada dalam suatu kesempatan. Sisanya diserap pasar dalam negeri terutama untuk memproduksi minyak goreng.
Produksi CPO pada 2008 semakin meningkat. Menurut Achmad Mangga Barani, Dirjen Perkebunan, Deptan, dalam bukunya Memaknai Sebuah Anugerah, dengan luasan yang sekitar 7 juta ha, produksi CPO mencapai 19,2 juta ton. Dari produksi ini, sebanyak 14,6 juta ton CPO dan turunannya diekspor sehingga membuahkan devisa sebanyak US$12,4 miliar.
Berkiblat Keluar Negeri
Kita boleh saja menjadi produsen utama tapi dalam menjual CPO-nya para pelaku bisnis masih harus mengambil referensi harga internasional dari pasar fisik Rotterdam dan pasar berjangka Kualalumpur. Di Rotterdam, harga CIF ditentukan oleh pembeli dan penjual yang menyampaikan penawarannya melalui mekanisme jual beli. Harga yang terbentuk dipublikasikan sehari sekali di media terkemuka, seperti Reuters, Dow Jones, dan Bloomberg. Dari sinilah para penjual mengambil referensi harga.
“Salah satu tragedi ekonomi di Indonesia, menurut hemat kami, terletak pada fakta bahwa walaupun kita termasuk jajaran produsen besar di kelas dunia, tapi tak satu pun dari referensi harga komoditas tersebut terbentuk di dalam negeri,” komentar Hasan Zein Mahmud, Dirut Bursa Berjangka Jakarta.
Sebagai produsen terbesar CPO, lanjut Hasan, Indonesia berkiblat ke Rotterdam (Belanda) yang tidak memiliki kebun sawit dan bukan konsumen sawit utama, dalam memperoleh harga patokan. Keprihatinan ini membuat BBJ dengan sokongan Kementerian BUMN menggodok rancangan pasar fisik CPO terorganisir. Setelah menghabiskan waktu setahun, pada 23 Juni 2009, pasar fisik CPO tersebut diluncurkan.
Peresmian pasar tersebut dilakukan Sofyan Djalil, Meneg BUMN dan Mari E. Pangestu, Mendag, didampingi Hasan Zein Mahmud. Pada awalnya, pihak yang bertransaksi adalah semua PTPN dan PT RNI yang juga BUMN. Selama ini PTPN menjual produksi CPO-nya melalui Kantor Pemasaran Bersama (KPB). Dengan kombinasi pemasaran melalui KPB dan BBJ, diharapkan dapat terwujud pasar fisik terorganisir sebagai wadah yang akan mampu memacu terbentuknya harga CPO nasional yang lebih terpadu. Kalau ini sukses, mimpi selanjutnya adalah harga yang terbentuk dapat menjadi harga referensi global.
Cara Bertransaksi
Pasar fisik ini dibuka setiap hari kerja dari pukul 09.45 sampi pukul 16.00 WIB. Selama waktu itu, dilakukan lima kali lelang, setiap kali 45 menit, yaitu pukul 10.00,11.00, 13.00, 14.00, dan 15.00.
Untuk bertransaksi di sini, penjual maupun pembeli, bisa pedagang maupun pengolah, harus memenuhi sejumlah syarat. Kecuali syarat administrasi dan memiliki perangkat komputer beserta sambungan internet, setiap pelaku wajib menyerahkan Bank Garansi sebesar Rp500 juta yang ditujukan kepada BBJ. Selain itu mereka juga membayar di muka biaya kepesertaan lelang sebanyak Rp1 juta.
Satuan transaksi adalah 1 lot atau 500 ribu kg. Bila akhirnya terjadi transaksi, para pelaku pasar tersebut merogoh kocek lagi untuk membayar biaya transaksi sebesar Rp1 per kg. Biaya ini sudah termasuk pajak pertambahan nilai (PPN).
Usai transaksi, penjual diberi kesempatan menyerahkan CPO-nya kepada pemenang lelang paling lambat 14 hari kalender setelah pembayaran efektif pada rekeningnya. Bila melewati batas waktu itu penjual tidak mampu menyerahkan barang, maka ia akan dikenai denda bunga yang besarnya ditentukan oleh BBJ berdasarkan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Perkembangan selama sebulan lebih peresmiannya, pasar fisik CPO tersebut dikabarkan masih belum menggembirakan. Pelaku pasar masih berharap insentif dari pemerintah, seperti pembebasan PPN, untuk mau bertransaksi. Para pelaku berskala kecil khususnya, masih menimbang untung ruginya aktif di pasar itu. Tampaknya mimpi menciptakan harga referensi dunia masih berproses dan membutuhkan peran aktif semua pelaku bisnis, pelat merah maupun swasta.
Peni SP