Selasa, 4 Agustus 2009

Membidik Kelas Menengah dengan Hidroponik

Penerapan hidroponik sistem nutrient film technique (NTF) menghasilkan sayuran berkualitas tinggi.

Demikian diungkapkan Joy Joanni Nayoan, pemilik Joy Farm di Bedahan, Sawangan Depok, Jabar. Hidroponik sistem NTF adalah cara budidaya tanpa tanah sebagai media tanam dengan mengalirkan cairan nutrisi ke perakaran tanaman.

Secara garis besar, dalam sistem itu digunakan talang-talang terbuat fiber seperti talang penampung air hujan dari atap rumah, yang penampangnya persegi. Dasar talang ini harus datar untuk mengalirkan cairan nutrisi paling tinggi 3 mm. Selain itu, dilengkapi pula dengan bak pencampur dan penampung cairan nutrisi serta pompa untuk mengalirkan kembali nutrisi itu ke perakaran tanaman. Bibit tanaman yang dibudidayakan ditaruh di atas talang sehingga akarnya dapat menyerap cairan nutrisi yang mengalir di bawahnya.

Menurut Joy yang menanam sayuran, pengaliran nutrisi diatur dengan interval 15 menit. Jadi, 15 menit nutrisi dialirkan, lalu 15 menit berikutnya dimatikan, dan seterusnya. Tampaknya ia menerapkan hidroponik NFT yang dimodifikasi karena ia juga menaruh kerikil pada talang tempat nutrisi dialirkan.

“Hasil sayuran yang dibudidayakan meningkat kualitas maupun jumlah produksinya,“ kata Joy, sapaannya. Hal ini lantaran budidaya dilakukan di ruangan tertutup sehingga serangan hama penyakit dapat ditekan dan tanaman memperoleh suplai nutrisi sesuai kebutuhannya, baik dalam hal jumlah maupun jenis.

Bebas Pestisida

Perbandingan antara hasil budidaya biasa dan hidroponik NFT, berdasarkan pengalaman Joy, cukup signifikan. Misalnya, untuk kangkung, jika budidaya biasa hanya menghasilkan rata-rata panjang tanaman 38 cm. “Sementara sistem NFT menghasilkan kangkung berukuran 40—45 cm, sesuai dengan ukuran packaging,” ucap wanita yang berani menanamkan modal senilai Rp300 juta pada 2006 untuk lahan dan sarananya ini.

Demikian pula kualitasnya. Sayuran hasil hidroponik ini lebih higienis, lebih renyah, batangnya lebih besar, dan daun pun lebih lebar. “Yang tampak lebih jelas, sayuran yang dihasilkan bebas pestisida karena memang tidak digunakan dalam sistem NTF,” jelas alumnus Fakultas Sastra Unpad, Bandung ini.

Dengan menggunakan sistem tersebut, diakui Joy akan meningkatkan ongkos produksi. Hitung-hitungannya, produksi satu kilo sayuran menghabiskan biaya Rp15.000. Namun hal itu tidak masalah karena hasil panen dapat dijual dengan harga Rp24.000 per kg ke penampung. “Masih menguntungkanlah, jika tidak, tentunya saya tidak akan bertahan bertani sejak tahun 2003,” tegasnya.

Dengan harga yang cukup mahal tersebut, Joy memang membidik pasar kelas menengah atas. Sebagai perbandingan, di pasar tradisional harga sayuran paling berkisar Rp4.000—Rp5000 per kg. Dengan menghabiskan biaya operasional Rp13 juta per bulan, ia mampu memproduksi 1,2—1,5 ton dari kapasitas yang dirancangnya sebesar 2 ton per bulan. “Informasi dari distributor kami, sayuran Joy Farm didistribusikan ke Carrefour, Hero, dan Giant,” ungkap wanita kelahiran 1971 ini.

Ragam sayuran yang diproduksi Joy Farm saat ini adalah caisim, bayam merah, dan kangkung. Kailan sudah tidak diproduksi lagi. Sedangkan arugula (selada) dalam taraf tahap uji coba tanam. “Dalam menentukan jenis sayuran, kami menyesuaikan dengan permintaan pasar melalui distributor sayuran dan buah,” tuturnya menutup perbincangan.

Yan Suhendar

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain