Selasa, 4 Agustus 2009

Kripik Krispi si Setan Merah

Setan merah satu ini bukan klub sepakbola kondang asal Inggris yang gagal main di Jakarta, melainkan ikan pemangsa yang ganas.

Red Devil Cichlid (Amphilophus labiatus) memang menjadi musuh para pembudidaya ikan di perairan air tawar. Bagaimana tidak, ikan predator asal Nikaragua, Amerika Latin, ini memangsa anakan berbagai jenis ikan konsumsi, seperti nila dan bawal. Tidak hanya itu, ia juga bisa mendominasi perairan lantaran perkembangbiakannya cepat. 

Keganasan Setan Merah itu dirasakan pembudidaya ikan di Waduk Sermo, Desa Hargowilis, Kokap, Kulonprogo, DIY. Menurut penuturan Karsin, penangkap ikan di sana, ikan ini tertebar bersama benih nila dari Waduk Cirata, Jabar, sekitar 2003—2004. Dalam lima-enam tahun kemudian, ikan yang ketika sudah dewasa kepalanya “jenong” tersebut nyaris menghabiskan nila di Waduk Sermo.

Sebelum ada si Setan Merah, Karsin dapat menjaring 70—150 kg nila per hari dari waduk seluas 150 ha itu. Lalu ketika ikan hama itu berkembang, ia ganti menangkapnya. Namun sayang ikan ini tidak laku karena dagingnya tipis dan berduri sangat tajam. “Di sini hanya Rp3.000 per kg, sedangkan di Kedung Ombo hanya Rp2.500 per kg. Pengepul di Kedung Ombo pun sampai menjualnya ke Yogya. Kalau tidak laku, ikan dibuang ke sungai agar harganya tidak turun,” jelasnya.

Kripik Krispi dan Abon

Karsin pun memutar otak. Berbekal pengalaman istrinya yang pernah bekerja di resto ikan goreng, sejak dua tahun lalu ia mengolah si Setan Merah. Ikan yang berukuran 15—30 ekor per kg diolah menjadi kripik ikan tepung krispi, sedangkan yang di atas 15 ekor per kg dijadikan abon. Mina Rasa, demikian ia memberi label bagi ikan olahannya itu. Sejak menjalankan usaha industri skala rumah tangga itu, Karsin tidak lagi menangkap ikan sendiri. Lulusan SMP ini menjadi penampung Red Devil.

Ikan-ikan tersebut dibelah dua bagian dan dibersihkan isi perut serta siripnya. Kemudian dilumuri tepung bumbu dengan resep khusus. Setelah itu digoreng dua kali. Hasilnya ikan garing dan gurih. Meskipun tanpa pengawet, ikan krispi ini dapat bertahan hingga tiga bulan. Salah satu keunggulannya adalah rasa amis yang tidak terlalu menyengat sebagaimana ikan laut. “Ini cocok untuk masyarakat pedalaman yang tidak terbiasa dengan ikan laut,” terang anggota Forum Komunitas Waduk Sermo tersebut.

Karsin membeli red devil basah seharga Rp3.500 per kg. Biaya tenaga kerjanya Rp2.000 per kg. Satu kilo kripik krispi diperoleh dari dua kilo ikan basah. Untuk mengolah 10 kg ikan, diperlukan 3 kg minyak goreng dan 2 kg tepung bumbu. Dengan demikian, ongkos produksi ikan krispi per Juni 2009 mencapai Rp24.000 per kg. Produk tersebut lantas dijual seharga Rp32.000per kg. “Memang untungnya tidak banyak, tapi ya lumayan untuk mengolah ikan yang biasanya jadi hama itu dan mudah-mudahan juga bisa dilakukan di waduk-waduk lain, seperti di Kedung Ombo,” harap Karsin.

Sedangkan untuk pengolahan abon, 4 kilo ikan basah menjadi satu kilo abon. “Kalau ini untungnya lumayan. Ditambah bumbu, gula dan kelapa, biaya produksinya hanya Rp30.000 per kg, terus kita jual Rp60.000  per kg,” hitung Karsin. Daya simpannya sampai dua bulan. Namun, karena inovasi ini baru enam bulan berjalan, produksinya belum banyak. Saat ini pihaknya baru melayani pesanan saja.

Untuk pemasaran, ibaratnya Karsin tidak perlu berkeringat. Pasarnya mudah. Produknya habis untuk pasar lokal di Yogyakarta. Meskipun demikian, ia juga mengirim pesanan ke Bandung dan Jakarta. “Ada juga permintaan dari Surabaya, tapi kita belum bisa memenuhi,” ujarnya.

Persoalan yang dihadapi pria asal Pati, Jateng, ini adalah sedikitnya tenaga kerja pengolah. Untuk menggarap produk amis ini, warga sekitar yang menjadi karyawan Mina Rasa masih menjadikannya sebagai sambilan. Alhasil, dalam sehari mantan montir sepeda motor itu baru mampu mengolah 40 kg ikan basah.

Limbah untuk Itik

Nilai tambah pengolahan ikan tersebut tidak hanya dari olahan dagingnya. Limbah ikan berupa isi perut dan kepala juga bagus untuk pakan itik. Limbah ini dapat menggantikan peran konsentrat yang harganya mencapai Rp6.500 per kg.

Biasanya campuran pakan yang diberikan Karsin bagi itiknya adalah 2 kg jagung, 2 kg bekatul, dan 1 kg konsentrat untuk 20 ekor dengan produktivitas telur 70% per hari. Namun, dengan limbah tersebut, selain tidak perlu konsentrat, produktivitas itiknya juga meningkat menjadi 80% per hari.

Menurut ayah satu anak ini, satu kilo ikan basah menghasilkan satu ons limbah. Empat ons limbah yang diperolehnya setiap hari diberikan kepada 60 ekor itik. Hasilnya, ia memanen 50 butir telur per hari. Harga telur itiknya setara telur itik yang diliarkan. Di Yogya, harga telur itik yang diliarkan lebih mahal Rp100—Rp200 per butir ketimbang telur itik dikandangkan karena citarasanya dinilai lebih enak.

Faiz Faza

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain