Permintaan terhadap produk turunan jagung untuk pangan, terutama bihun dan mi, diprediksi akan terus melonjak.
Dalam debat calon presiden putaran kedua lalu, Capres Jusuf Kalla (JK) sempat menyindir jingle kampanye Capres Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). JK berkomentar, jingle kampanye tersebut ditakutkan akan menimbulkan paradigma ketergantungan impor karena mirip jingle iklan produk mi instan. Menurut JK, kampanye ala SBY tersebut malah mensosialisasikan konsumsi mi yang bahan dasarnya gandum. Padahal gandum ini masih dipasok dari Amerika.
Tak mau dipermalukan, SBY tak kalah sigap menjawab. Menurutnya, mi yang dimakannya sudah dicampur sagu, singkong, sukun, dan jagung sehingga bahan pencampur ini bisa berkembang. “Bukan mi yang dimakan Pak Kalla yang masih dari gandum,” tukasnya.
Pernyataan SBY tersebut seolah menyadarkan kita tentang pentingnya diversifikasi pangan. Sumber pangan jangan hanya bersandar dari satu jenis komoditas, tapi bisa memanfaatkan potensi lokal yang ada. Salah satunya adalah jagung.
Potensi Besar
Fadel Muhammad, Ketua Dewan Jagung Nasional dalam diskusi bertajuk Introduksi Jagung Transgenik (24/06) di Jakarta membeberkan potensi besar pengembangan jagung di Indonesia. Menurutnya, jagung adalah tanaman industri, komersial, dan multiguna, baik sebagai sumber pangan, pakan, energi, dan bahan kimia.
“Indonesia sangat berpeluang menjadi penyedia pangan dan sumber energi dunia karena telah swasembada jagung,” ujarnya. Produktivitas jagung, lanjut Gubernur Gorontalo ini, lebih tinggi dibandingkan padi dan gandum. Mengutip data FAO 2007, produktivitas jagung mencapai 4,88 ton per hektar (ha), sedangkan padi dan gandum hanya menghasilkan 4,01 ton dan 2,9 ton per ha.
Fakta lain, jagung terbilang tanaman paling adaptif dalam iklim tropis, subtropis, dataraan tinggi dan rendah. Lalu bagaimana prospek bisnis produk turunan jagung, khususnya pangan?
Mi dan Bihun
Teddy Tjokrosaputro, Dirut PT Subafood Pangan Jaya, produsen komoditas berbasis jagung di Jakarta, menyatakan, produk turunan jagung sangat banyak pilihan. Sebut saja minyak goreng, pemanis, dan industri makanan. Dalam industri makanan, produk turunannya berupa biskuit, camilan, sereal, dan mi. “Dalam pembuatan tepung jagung, setelah digiling kering, jagung akan menjadi corn grits yang kemudian dengaan proses ekstruksi menjadi makanan,” terangnya.
Dari jagung juga bisa dihasilkan pati. Prosesnya, jagung direndam air hangat yang telah dicampur SO2 selama 48 jam, lalu digiling dan dipisahkan semua unsur- unsurnya, dicuci kemudian dikeringkan. Dari poses ini dapat dihasilkan pula lembaga (germ), protein, dan kulit. Pati (starch) adalah bahan untuk pembuatan bihun jagung.
Menurut Teddy, pasar produk turunan jagung terutama bihun, tiap tahun terus meningkat. Dari analisisnya, pada 2006 konsumsi masyarakat baru mencapai 200 ton per bulan dengan pasokan bersumber dari dua produsen bihun jagung. Setahun berikutnya melonjak menjadi 1.000 ton per bulan dengan empat produsen. Dan 2008, konsumsi menjadi 6.000 ton per bulan dengan 10 produsen yang terlibat.
Tahun ini konsumsi bihun jagung diprediksi melambung menjadi 10.000 ton per bulan. Sedangkan tahun depan diperkirakan akan menembus kisaran 15.000 ton per bulan. “Bihun jagung saat ini telah menggantikan lebih dari 50% pangsa pasar bihun beras dan mulai merebut sedikit pasar mi,” ungkap Teddy.
Lebih jauh, Teddy memaparkan, bihun jagung telah menyumbang 0,2% sebagai makan pokok dan 2% sebagai makanan nonberas. Sehingga ia berpandangan potensinya masih sangat besar untuk dikembangkan. Apalagi melihat angka pertumbuhan jumlah penduduk yang melaju pesat dan ditambah mahalnya produk makanan, terutama yang berbasis gandum.
Selamet Riyanto