Pangan alternatif ini menawarkan keuntungan ekonomis bagi pelaku bisnisnya dan kesehatan bagi konsumennya.
Garut (Maranta arundina) adalah tanaman perdu musiman dan mudah ditemui di pekarangan. Umbinya biasa dipanen 9—10 bulan setelah tanam. Musim panen biasanya jatuh pada Juli—-September.
Umbi garut, salah satu sumber pangan sehat dengan indeks glisemik sangat rendah, hanya 14. Ini jauh lebih rendah ketimbang beras, terigu, kentang, dan ubikayu, yang masing-masing 96, 100, 90, dan 54. Indeks glisemik adalah ukuran kekuatan pengaruh suatu pangan untuk menaikkan kadar gula darah setelah orang mengonsumsinya. Garut juga tidak mengandung kolesterol dan asam urat. “Jadi, emping ini cocok untuk orang yang ingin makan gorengan tetapi takut gemuk dan penderita diabetes,” terang Prof. Murdijati Gardjito, Pusat Kajian Makanan Tradisional UGM.
Murdijati juga menjelaskan, garut mengandung serat terlarut dan tidak terlarut dalam jumlah yang tinggi. Serat yang terlarut berfungsi menyerap racun di dalam tubuh, sedangkan yang tidak larut akan memperbesar volume feses sehingga teksturnya menjadi lunak. Hal ini akan menghindarkan orang dari susah buang air besar.
Pengolahan
Untuk meningkatkan nilai ekonomi garut, pelaku usaha mengolahnya menjadi emping. Adalah Saminah, yang menjadi pioner pembuat emping garut. Ketua kelompok produsen emping garut di Blabak, Triwidadi, Pajangan, Bantul, Yogyakarta ini mampu menjual emping garut seharga Rp50.000 per kg. Untuk kualitas tingkat dua, tiga dan empat masing-masing dibanderol Rp40.000, Rp32.000, dan Rp24.000 per kg. Seiring peningkatan harga emping, harga bahan baku pun turut merangkak naik. Harganya mencapai Rp2.000 per kg. Dari satu kilo umbi ini akan diperoleh 200 gr emping dan 200 gr pati atau amilum.
Proses pembuatan emping garut, menurut Saminah, meliputi pemilihan umbi, pengupasan, pencucian, perebusan, pengirisan, pemipihan, dan penjemuran dengan sinar matahari. Ongkos produksi hingga pengemasan mencapai Rp3.000 per kg umbi mentah.
Saminah menerapkan standar pengolahan ketat. Anggota kelompok wajib mengenakan celemek, kerudung, dan menyiapkan sapu pembersih. Pada tahap pemipihan, ia menggunakan plastik ganda. Plastik pertama sebagai alas, sedangkan yang kedua sebagai penutup umbi. Dengan demikian, hasil pemipihan terlihat putih, tipis, dan bersih. Proses pemipihan dihentikan pada pukul satu hingga dua siang dengan pertimbangan intensitas sinar matahari berkurang. Dengan cara pengolahan demikian, emping dapat bertahan hingga dua tahun.
Emping buatan Saminah, selain putih bersih dan tipis juga sangat renyah. Tingkat kerenyahan menjadi dasar pembedaan kualitas tingkat satu hingga empat. “Kerenyahan itulah yang membuat konsumen ketagihan,“ ungkapnya sambil tersenyum.
Rasa emping garut tidak semuanya rasa asli, tapi juga bisa dipesan dengan rasa tertentu, misalnya rasa bawang dan asin. Namun, karena keterbatasan bahan baku, penjualan terbatas pada pesanan dan ke pasar swalayan. “Saya kewalahan sehingga tidak ada tawar-menawar harga,” tutur Saminah.
Sisa umbi yang tidak layak dibuat emping dapat diambil patinya. Pati yang diperoleh sekitar 200—250 gr. Harga jualnya mencapai Rp8.000 per kg sehingga dapat menutup biaya pembelian umbi. Akan lebih menguntungkan lagi jika pati ini dibuat semacam dodol. Satu kilo pati dapat menghasilkan 100 bungkus dodol yang laku dijual seharga Rp500 per bungkus. Sedangkan limbah seratnya masih bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
Faiz Faza