Sejumlah negara mengeluarkan kebijakan proteksi untuk melindungi pasar domestiknya. Indonesia malah membuka izin impor karkas, daging, dan jeroan.
Izin impor itu tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 20/Permentan/OT.140/4/2009. Kebijakan yang berlaku efektif pada 8 April lalu itu mengatur tentang pemasukan dan pengawasan peredaran karkas, daging, serta jeroan dari luar negeri. Penerbitan permentan tersebut sekaligus mencabut peraturan lama, Permentan No.64/Permentan/OT. 140/12/2006.
Menekan Peternakan Rakyat
Menurut Siti Adiprigandari, peneliti Indonesia Research Strategic Analisys (IRSA), membuka keran impor daging sebesar-besarnya, akan membuat peternakan rakyat semakin tertekan karena harus bersaing untuk memperoleh pasar di negeri sendiri. “Lahirnya Permentan No. 20/2009 membuktikan bahwa pemerintah tidak mendorong dengan kebijakan yang mendukung perkembangan industri perunggasan,” ungkap Paulus Setiabudi, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU).
Forum Penyelamat Negara dari Penyakit Mulut dan Kuku (FPN-PMK) pun menilai, penandatanganan Permentan No. 20/2009 terkesan tertutup tanpa memperhatikan masukan dari para ahli termasuk dokter hewan. “Dengan ditandatanganinya permentan itu, berarti pemerintah telah membuka sendiri benteng pertahanan Indonesia dari penyakit mulut dan kuku (PMK). Padahal Indonesia perlu 100 tahun untuk bebas dari penyakit tersebut,” papar Teguh Boediyana, Ketua Umum FPN-PMK. Oleh karena itu, pihaknya siap mengajukan pengujian aturan hukum (judicial review) Permentan No. 20/2009 kepada Mahkamah Konstitusi.
Teguh yang juga Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), juga meminta Komisi IV DPR RI untuk memanggil Mentan dalam rapat kerja dengan lembaga legislatif tersebut, serta melibatkan FPN-PMK guna memberi masukan. Soehadji, Ketua Lembaga Pengamat Bidang Kedokteran Hewan (Indonesia Veterinary Watch), yang juga mantan Dirjen Peternakan, menambahkan, keluarnya Permentan No.20/2009 menunjukkan menteri pertanian tidak menghargai jerih payah otoritas veteriner, dalam hal ini dirjen peternakan untuk menjaga agar Indonesia tetap bebas PMK.
Senada dengan Teguh dan Soehadji, Don P. Utoyo, Koordinator Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI), menyebutkan, Permentan No. 20/2009 harus dikaji ulang. “Jangan sampai kebijakan itu malah menghancurkan industri peternakan unggas nasional," ujarnya. Deptan, lanjut dia, tidak pernah meminta masukan asosiasi dan para peternak unggas dalam penyusunan kebijakan impor tersebut.
Tidak Serta-merta
Menyikapi keresahan peternak, Djajadi Gunawan, Direktur Budidaya Ternak Non Ruminansia, Ditjen Peternakan, menyebutkan, dengan adanya permentan itu tidak ujug-ujug terus bisa impor, justru aturannya lebih ketat. “Permentan itu lebih ditujukan kepada daging sapi. Kalau daging unggas lebih kepada itik peking dan kalkun yang memang kita nggak punya,” jelasnya.
Sementara menurut Fauzi Luthan, Direktur Budidaya Peternakan Ruminansia, Ditjen Peternakan, Permentan No. 20/2009 bukan dimaksudkan untuk impor daging sapi sebanyak-banyaknya. ”Tetapi lebih memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk mengimpor dari negara-negara tertentu, selain Australia dan Selandia Baru. Kebijakan ini untuk mencegah adanya monopoli kedua negara tersebut,'' dalihnya.
Fauzi menandaskan, aspek kesehatan tetap menjadi acuan utama. “Ketergantungan terhadap impor sapi bakalan maupun daging, masih cukup tinggi di atas 33%. Oleh sebab itu, untuk mencapai swasembada daging sapi diperlukan upaya-upaya khusus,” ucapnya. Namun demikian, Fauzi tidak bisa memprediksi seperti apa dampak permentan itu karena sejauh ini belum ada daging impor asal Brasil yang sudah masuk ke Indonesia. "Tapi kalau permentan ini nantinya malah bikin runyam, bisa saja dicabut," ucapnya dengan enteng.
Dadang W. Iriana