Rabu, 22 Juli 2009

Gemuknya Bisnis Penyedia Akikah

Kesadaran umat Islam untuk menjalankan akikah bagi kelahiran putra-putrinya menyebabkan kebutuhan akan domba terus meningkat.

Indikasi terkereknya kesadaran tersebut terlihat dari semakin banyaknya jumlah rumah zakat yang selalu dibarengi pendirian rumah akikah. Hal ini diungkapkan Sugeng Yulianto, pemasok domba PT Citra Niaga Abadi (CNA), perusahaan bisnis dari Rumah Zakat Indonesia (RZI).

Tambahan lagi, kata alumnus Fapet UGM Yogyakarta ini, lembaga zakat kini bertekad menggaji karyawannya dari hasil lembaga bisnisnya, bukan zakat masyarakat. “Sekarang seperdelapan dari zakat masyarakat itu untuk karyawan. Ini akan terus dikurangi sehingga zakat nanti bisa total diberikan kepada masyarakat. Dan peluang bisnis itu ada pada penyediaan domba akikah,” urai Ketua Dewan Tanfidz PCNU Kota Magelang ini.

Sugeng mengaku, pihaknya baru mampu memasok 600—700 ekor per bulan ke PT CAN. Jumlah tersebut memenuhi sebagian kebutuhan RZI di lima rumah akikahnya di Yogya, Semarang, Solo, Bandung, dan Jakarta. Padahal masih ada lima rumah akikah lagi yang butuh pasokan.

Selain itu, Sugeng juga memasok Lembaga Amil Zakat Infak dan Shadaqah (Lazis) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 25 ekor per minggu. Dia pun belum mampu memenuhi pesanan PT Indofood Sukses Makmur Tbk untuk pembuatan kornet, 700 ekor per bulan. Belum lagi pasar Idul Adha yang permintaannya saban tahun terus meningkat.

Saat ini, tokoh pemuda itu menghadapi kendala berupa tingginya permintaan terhadap domba jantan. Pasalnya, masyarakat merasa lebih mantap menggunakan domba jantan dalam akikah. Sedangkan kebiasaan peternak masih suka memelihara domba jantan untuk hewan kesayangan maupun persiapan Idul Adha.

Ditimbang Bukan Ekoran

Sugeng mendapatkan domba dari pengepul agar ketersediaannya terjaga. Ternak itu berasal dari sekitar Blora, Salatiga, Purworejo, dan Magelang dengan bobot 15—25 kg per ekor sesuai persyaratan kontrak. Domba-domba ini dibeli maupun dijual Sugeng dengan ditimbang, bukan ditaksir.

Selanjutnya domba dijual dengan selisih Rp5.000—Rp8.000 per kg lebih tinggi dari harga belinya bergantung biaya transportasi, pemeliharaan di penampungan, dan penyusutan. “Rata-rata penyusutan 7 ons per ekor,” hitungnya. Harga domba jantan lebih tinggi Rp2.000 per kg dibandingkan dengan yang betina, sebab lemaknya lebih sedikit.

Biaya pemeliharaan seekor domba di penampungan sekitar Rp1.000 per hari mengingat hanya dicatu rumput sebanyak 10% dari bobot badannya. Yang dipentingkan adalah ternak dapat bertahan hidup. Dan pembeli pun biasanya lebih menyukai domba yang kurus tapi sehat dan performa anatominya bagus sehingga harganya murah dan dapat digemukkan sendiri.

Demi kelancaran perputaran modal, Sugeng hanya berdagang dengan lembaga yang berani teken kontrak. Dia tidak menjual kepada jagal, warung sate, atau pengguna yang lain. Pasalnya, para pelaku usaha ini biasanya tidak membayar kontan.

Produsen Domba Bunting

Karena kebanyakan permintaan adalah domba jantan, maka Sugeng mengalami kelimpahan pasokan domba betina. Ia pun memproduksi betina bunting 2—3 bulan. Tujuannya, bila peternak membelinya, dalam 2—3 bulan kemudian dapat memanen anakan dua ekor. Dalam umur dua bulan atau lepas sapih, seekor anak domba jantan (cempe) laku Rp200 ribu per ekor, sedangkan yang betina Rp150 ribu—Rp175 ribu. Kini ia bisa menjual domba bunting sebanyak 25 ekor per minggu yang harganya Rp20.500 per kg hidup.

Sugeng berpendapat, beternak domba lebih fleksibel dibandingkan sapi. Modalnya tidak terlalu besar dan dapat dijual bertahap sesuai kebutuhan pasar. “Seekor sapi modalnya sekarang bisa Rp10 juta. Itu sudah bisa untuk 20 ekor domba. Untungnya juga tidak kalah,” imbuhnya sembari tersenyum.

Faiz Faza (Yogyakarta)

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain