Ditandatanganinya perjanjian perdagangan bebas ASEAN-Australia-Selandia Baru (FTA-ANZ) memberi peluang masuknya produk unggas dari 12 negara ke Indonesia.
Sebagian pelaku perunggasan di Tanah Air mengganggap Malaysia adalah ancaman terdekat. Sementara pelaku lain memandang, produk negeri jiran tersebut bukanlah ancaman mengingat kondisi perunggasan di sana tidak jauh lebih baik ketimbang Indonesia. Hampir semua bahan baku pakan juga impor, masih mendingan Indonesia yang mempunyai jagung. Namun begitu, Malaysia mampu mengekspor broiler dalam keadaan hidup dan berupa daging ke negara tetangga dekatnya, Singapura. Sementara Indonesia belum bisa mengekspor produknya lagi sejak diembargo lantaran mewabahnya penyakit avian influenza.
Kondisi 2007—2008
Data yang dilansir Asian Poultry mengatakan, negara tetangga kita ini pada 2007 memproduksi 503,19 juta anak ayam (DOC), terutama terdiri dari strain Cobb dan Ross. Dari jumlah itu, produksi broiler tercatat 471,56 juta ekor. Pada 2008, produksi DOC diproyeksikan sebanyak 548,80 juta ekor, sedangkan produksi broilernya diperkirakan 522,83 juta ekor.
Pada 2007 itu, harga DOC di tingkat peternak bermain di kisaran RM1—RM1,7 (sekitar Rp3.000—Rp5.100) per ekor. Sedangkan harga broiler di tingkat peternak berkisar Rp9.000—Rp12.000 per kg hidup atau rata-rata Rp10.900-an. Sementara biaya produksinya mencapai Rp11.500—Rp13.740 per kg atau rata-rata Rp12.330 per kg. Tahun tersebut menjadi periode merugi bagi peternak broiler lantaran biaya produksi lebih tinggi ketimbang harga di tingkat peternak.
Malaysia mengekspor broiler hidup sebanyak 40,19 juta ekor dan berbentuk daging 2.400 ton pada 2007. Meski mengekspor, negeri ini juga membuka pintunya untuk produk impor dari beberapa negara, seperti China, Thailand, Denmark, USA, dan Belanda. Volumenya pada tahun yang sama mencapai 17.355 ton.
Kondisi perunggasan 2008 diperkirakan lebih baik ketimbang 2007 sehingga harga di tingkat peternak naik dan mereka kembali dapat meraih keuntungan. Harga jual broiler, menurut Federasi Peternak Malaysia yang dilansir The Poultry Site News Desk, mulai April memang naik dari sekitar Rp9.900 per kg menjadi Rp11.100 per kg di tingkat peternak. Harga borongan dari Rp12.000 ke Rp13.200 per kg, sementara harga ecerannya dari Rp14.100 menjadi Rp15.300 per kg.
Sumber yang sama menulis, pada Agustus 2008, harga broiler hidup di tingkat peternak naik terus sampai mencapai Rp15.120 per kg. Namun harga ini hanya menutup biaya produksi yang meroket akibat kenaikan harga pakan. Tidak ada keuntungan sama sekali bagi peternak. Karena itu, Federasi Peternak Malaysia meminta pemerintah menaikkan harga jual.
Berbeda dengan di Indonesia yang harga broilernya lebih ditentukan pasar, harga broiler di Malaysia sedikit banyak diatur dari pemerintah. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan Dalam Negeri, Koperasi, dan Konsumerisme berunding dengan perwakilan peternak menentukan harga batas atas.
Pengaturan harga tersebut juga berlaku menjelang Hari Raya Islam dan Deepavali. Pada September 2008, Asosiasi Pengecer Unggas meminta pemerintah menetapkan harga di tingkat peternak pada Rp13.500—Rp13.800 per kg sehingga mereka tetap bisa bertahan tanpa harus mengharap belas kasihan peternak. Tanpa batas itu, pengecer kuatir peternak akan menjual dengan harga Rp15.000 per sehingga membuat mereka kesulitan menjual kepada konsumen.
Harga batas atas pemerintah saat itu untuk broiler hidup borongan Rp15.750 dan eceran Rp17.850 per kg. Sementara untuk ayam standar (dipotong, utuh lengkap dengan hati dan jeroan) harga borongannya Rp18.600 dan eceran Rp21.000 per kg. Sedangkan harga ayam super (karkas tanpa kepala, kaki, hati dan jeroan) masing-masing Rp21.000 dan Rp23.550 kg. Pembatasan harga ini berlaku dari 24 September hingga 8 Oktober 2008 untuk Hari Raya Islam dan dari 20 Oktober sampai 3 November untuk Deepavali (Hari Raya kaum Hindu).
Melihat harga-harga tersebut, kita bisa melihat kesenjangan harga dari tingkat peternak hingga konsumen tidak terlalu jauh. Bandingkan dengan di Indonesia, misalnya saat ini, harga di tingkat peternak sekitar Rp14.000 per kg hidup, sementara harga karkas di tingkat konsumen Rp20.000 per kg. Jauhnya kesenjangan ini salah satunya disebabkan panjangnya rantai pemasaran sampai ke konsumen.
Masih Rugi
Meski harga broiler cenderung lebih tinggi tahun lalu, ini tak selalu menguntungkan bagi para pelaku di Malaysia. Demikian pula kuartal pertama tahun ini yang mencatat penurunan harga rata-rata broiler di tingkat peternak yang hanya Rp11.200 per kg.
Menurut The Poultry Site News Desk, Farm’s Best Bhd, produsen broiler, melaporkan kerugian sebesar RM2,6 juta (Rp7,8 miliar) sampai Maret 2009. Padahal kuartal pertama tahun lalu, perusahaan ini untung bersih Rp780 juta. Hal ini karena ada penurunan harga jual dan kontraksi konsumsi di tingkat eceran.
Demikian pula yang menimpa Leong Hup Holdings Bhd, salah satu produsen broiler terbesar di Malaysia. Perusahaan dengan penjualan tahunan lebih dari RM1 miliar (Rp3 trilun) ini mengaku bertambah rugi dari tahun lalu. Jumlah kerugian meningkat dari Rp3,8 miliar menjadi Rp27,9 miliar.
Melihat kondisi perunggasan Negeri Jiran seperti itu, betulkah mereka pengancam eksistensi industri unggas nasional bila sampai mengekspor produk ke Indonesia?
Peni SP