Senin, 6 Juli 2009

Lain Indonesia, Lain Vietnam

Vietnam masih mendominasi pasar patin (Pangasius spp.) dunia. Kendati dituduh terkontaminasi dan sempat ditangkal negara pengimpor utama, patin Vietnam masih mencatat angka ekspor tertinggi: 640 ribu  ton atau senilai US$1,45 miliar pada 2008 (FAO Globefish Report). 

Pencapaian itu pun sempat mampat di triwulan akhir tahun lalu akibat resesi ekonomi. Begitu pun, pemerintah Vietnam masih berani memasang ramalan  produksi 1,5 juta ton untuk 2009. Ekspor patin Vietnam terbesar ke Uni Eropa sebanyak 224,3 ribu ton, Rusia 118,2 ribu ton, Ukraina 74.000 ton, Asean 34.000 ton, Mesir 26.000 ton, dan AS 24.200 ton.

Indonesia kini juga memacu pengembangan budidaya patin dan lele, menjadikannya sebagai komoditas unggulan karena tingkat serapan pasarnya yang cukup tinggi, baik lokal maupun ekspor. Namun tajuk ini menitipkan pesan, hendaknya usaha pengembangan patin itu diutamakan dulu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Jangan berambisi mengimbangi, apalagi mau menggeser dominasi ekspor Vietnam dalam lima tahun ke depan.

FAO meragukan ramalan Vietnam tentang produksi patinnya yang 1,5 juta ton tahun ini mengingat 90% petani di kawasan Mekong melaporkan kerugian pada akhir 2008, dan 40%—50% tambak di sana kini dibiarkan kosong. Para pembudidaya itu menahan diri dan tidak mengisi tambaknya karena harga patin anjlok drastis. Pemasok internasional cuma berani menawar US$0,92 sekilo di Mekong Delta, membuat produksi menjadi tidak ekonomis. FAO menaksir produksi patin Vietnam akan merosot setengahnya dari tahun lalu, sangat kontras dengan ramalan resmi pemerintah yang 1,5 juta ton itu.

Maka pengembangan budidaya perikanan, seperti dikemukakan Dr. Bayu Krisnamurthi di Forum Pengembangan Usaha Budidaya Perikanan dan Kelautan se- Wilayah Pantai Barat di Medan, akhir April lalu, sebaiknya diarahkan menjadi salah satu komponen ketahanan pangan, disejajarkan dengan sektor pertanian beras. Apalagi Indonesia masih harus mengimpor ikan di antaranya patin dari Vietnam yang di sini dinamakan “Dori”. Seperti diungkapkan Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) DKP, Martani Huseini, pada acara Catfish Day di Yogyakarta 25 Juni, Indonesia setiap tahun mengimpor 1.300 ton patin dari Vietnam dan ikan kembung dari Pakistan.  

Martani sendiri melihat budidaya ikan air tawar seperti patin cukup prospektif. Selain faktor konsumsinya cukup tinggi, prospek itu didukung kecenderungan semakin berkurangnya ikan tangkapan. DKP memproyeksikan peningkatan penyediaan ikan untuk konsumsi menjadi 30,17 kg per kapita per tahun pada 2009 ini, yang merupakan kenaikan konsisten dari 28,28 kg per kapita pada 2007 dan 29,98 kg per kapita pada 2008.

Sekjen DKP Syamsul Ma’arif juga melihat, untuk pasar dalam negeri, permintaan patin dan lele dari tahun ke tahun mengalami peningkatan siginifikan, terkait perkembangan selera masyarakat yang kian gemar makan ikan. Namun Dr. Ma’arif juga mengintrospeksi, ”Budidaya patin dan lele masih memiliki banyak kelemahan, antara lain panjangnya rantai pemasaran, fluktuasi harga yang tajam di tingkat konsumen, dan teknologi pengolahan”.

Nah, pada bagian ini kita boleh membanding dan mempelajari keberhasilan Vietnam. Kenapa Dori yang dijual di Indonesia bisa lebih murah? Industri perikanan air tawar mereka terkonsentrasi di Delta Mekong, sementara di Indonesia tersebar di sentra-sentra di danau-danau, di tepian-tepian sungai atau rawa di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa. Budidaya perikanan kita lebih rumit, sementara di Mekong, karena saling berdekatan, keterkaitannya dalam matarantai pembenihan, pembiakan, unit pengolahan, ruang pendingin, dermaga, transportasi bisa terintegrasi secara efektif dan efisien.

AGRINA edisi ini menyoroti ikan patin dan lele lokal, mulai dari ketidak-efisienannya karena sentra-sentranya terpencar, tambaknya berjauhan dengan tempat pengolahannya,  kendala transportasi, sampai ketersediaan dan kualitas benih serta pakan. Tentang penampakan fillet patin impor  yang lebih putih dan sayatannya yang rapi, pengolahan fillet lokal secara manual yang memakan waktu dan ongkos, kelangkaan peralatan/mesin penyayat,  ketrampilan SDM, pilihan selera masyarakat terhadap yang impor dan lokal, promosi dan pemasarannya.

Daud Sinjal

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain